Dana triliunan rupiah dibutuhkan untuk membangun sebuah pembangkit listrik tenaga panas bumi. Di Baturaden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pembangkit yang direncanakan menghasilkan daya listrik 220 megawatt butuh fulus yang besarnya mencapai Rp8 triliun.

“Setiap megawatt menelan biaya US$4 juta,” kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Banyumas Anton Adi Wahyono, beberapa waktu lalu. Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap yang digerakkan dengan batu bara, misalnya, investasi PLTP jauh lebih besar. PT Geo Dipa Energi (GDE) yang mengelola PLTP Dieng, di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sudah merasakannya.

“Pembangunannya memang mahal pada awal, tetapi setelah itu ongkos operasional untuk membeli bahan bakar tidak ada. Seperti PLTU, selama hidupnya butuh pasokan batu bara yang harus dibeli dari perusahaan lain,” kata Humas PLTP Dieng, Suparwanto. Apalagi, batu bara merupakan bahan tambang yang dapat habis.

Berbeda dengan PLTP yang tidak perlu lagi membeli bahan baku untuk menggerakkan turbin karena digerakkan oleh uap yang dihasilkan panas bumi. Selain ramah lingkungan, PLTP juga bekerja secara close system, dengan membuang limbah uap air ke perut bumi, tanpa ada pencemaran.

Cara ini membuat panas menjadi energi terbarukan karena tidak menggunakan bahan baku yang bisa habis. Keuntungan lain PLTP, tentu saja karena lebih ramah lingkungan. Tidak banyak emisi CO2 yang dihasilkan. Panas bumi menghasilkan dua energi, yakni uap kering dan basah. Suparwanto mengaku belum tahu persis jenis uap air yang ada di Baturraden. Dengan uap basah, pengelola bisa memanfaatkan hutan sebagai reservoir air. “Jenis uap bakal diketahui pada saat dilakukan eksplorasi,” tambahnya.

Di sisi lain, Administratur KPH Banyumas Timur Budi Wibowo menyatakan bahwa pembangunan PLTP membutuhkan kajian lebih mendalam. Kelayakan diharapkan bisa segera diketahui setelah dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Dengan amdal, akan diketahui dampak sosial dan lingkungan jika PLTP dibangun. Proyek yang berada di dalam hutan lindung membutuhkan perhatian secara saksama supaya tidak memunculkan persoalan di kemudian hari,” tandas Suparwanto.

Sebagai pengelola hutan, Perhutani memang tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin. Kecermatan Kementerian Kehutanan yang diuji karena izin pemanfaatan hutan lindung ada di sana. (LD/N-2)

MEDIA INDONESIA :: 1 Agustus 2012, Hal. 23