4-PKBL-Wayang golek-KPH SMD 4Jatinangor, saat ini dikenal sebagai salah satu kawasan pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung dari keberadaan beberapa institusi antara lain Universitas Padjajaran, Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Institut Teknologi Bandung. Jatinangor juga terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o 53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Selain itu, daerah jatinangor ini terkenal dengan kerajinan tangannya. Wayang golek adalah salah satunya.
Siapa yang tidak mengenal wayang ? Wayang adalah bentuk teater rakyat sangat popular, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang awam sering menghubungkan antara kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar dimana muncul bayangan dan membuat penonton terpukau. Lain di Jawa Timur, lain pula di Jawa Barat, di daerah ini selain wayang kulit, dikenal juga dengan wayang golek. Golek, kata tersebut merujuk pada dua makna, sebagai kata kerja bermakna mencari, selain itu pada kata benda istilah golek bermakna sebagai boneka kayu.

Enjang Darajat, lelaki berusia 44 tahun ini, mulanya bekerja sebagai pedagang kelontongan dibantu istrinya. Selain berjualan kelontongan, ia pun juga membantu sang kakak sepupu, Bapak Herman (Alm.) membuat wayang golek untuk dipasarkan ke daerah Jawa Barat. Setelah dirasa keahlainnya dalam membuat wayang golek mampu memperoleh hasil, maka Enjang beralih menjadi pembuat wayang golek. Dengan berbekal modal Rp. 100.000,- , ia membeli bahan baku untuk membuat wayang golek dimulai dari kayu Albizia chinensis  atau yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai kayu sengon, kain batik, kain beludru, kuas untuk mengecat dan lain sebagainya. Dari modal itu ia mampu menghasilkan sebanyak 5 buah wayang golek seharga Rp. 25.000,- dan dipasarkan didesa sekitarnya.

Cara pembuatannya pun tergolong mudah. Pertama, kayu albizia dipotong sesuai ukuran dan pesanan. Kayu yang sudah dipotong kemudian dikupas dan di bentuk sesuai pola yang diinginkan. Wayang golek setengah jadi itu di raut agar tampak lebih halus. Apabila kayu wayang golek masih terasa basah, maka dijemur di panas matahari selama 24 jam atau seharian. Wayang golek yang kering kemudian diberi sentuhan akhir atau finishing dengan memakai cat kayu untu memprcantik tampilan dan dipakaikan baju bervariasi tergantung pesanan.

Hasil penjualan yang ada kembali dipergunakan untuk membeli bahan selanjutnya. Demikian terus menerus dan hingga pada tahun 1996, Enjang mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang. Dari situ ia berkenalan dengan salah satu BUMN Kehutanan yang kebetulan sedang sama-sama mengikuti pameran tersebut, Perum Perhutani.

Saat berkenalan, Enjang ditawarkan untuk menjadi mitra binaan, tetapi saat itu dalam hati Enjang masih bergolak antara menerima tawaran ataukah menolaknya.

Akhirnya keputusan pun diambil. Akhir tahun 2001 Enjang mulai mengajukan pinjaman lunak Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) sebesar 2 juta rupiah dan baru dicairkan awal tahun 2002. Menurutnya, dana sebesar itu sudah cukup untuk membiayai usahanya sementara waktu.

Alhasil keinginannya itu tercapai. Prosesnya pencairan dana pinjaman itu cepat dan mudah dengan jangka waktu pengembalian 3 tahun.
Setelah mendapat pinjaman, Enjang pun mulai melebarkan sayap. Produknya tidak hanya wayang golek saja, melainkan patung, rebana (alat musik yang biasa dipakai untuk qasidah), hingga plakat.

Namun kejadian pahit pun pernah dirasakan oleh Enjang. Pada tahun 2005, setelah salah satu artis internasional, Anggun C. Sasmi tertarik pada produk wayang golek dan kemudian berkunjung ke rumahnya. Selang beberapa hari kemudian Enjang merasakan suatu perasaan tidak tenang, pikirannya terbang entah kemana ia pun tidak sadar. Hal itu berlangsung hingga tahun 2009.

Untungnya, walaupun Enjang masih punya stok produk kerajinan yang dipakai untuk membiayai hidup sekeluarga selama beberapa bulan, satu persatu peralatan rumah tangganya dijual juga demi membiayai pengobatan. Berbagai cara pun ditempuhnya. Pengobatan medis hingga alternative dijalani demi mengharapkan kesembuhan. Berkat doa dari keluarga, akhirnya kesadaran Enjang pun pulih kembali.

Usaha kerajinan ini dimulai dari awal lagi. Ia semakin rajin mengikuti pameran-pameran untuk kembali memasarkan produknya. Saat ini bahan baku yang dibelinya sudah mencapai 3 hingga 4   per bulannya. Harganya pun sudah meningkat tajam dibandingkan saat ia mulai usaha dulu.

Harganya pun beragam. Dimulai dari wayang golek yang seharga Rp. 50 ribu hingga Rp. 500 ribu / unit. Rebana berkisar Rp. 250 ribu hingga Rp.  750 ribu /set. Patung kayu, berkisar Rp. 50 ribu hingga Rp. 3 juta /unit. Dan terakhir, plakat berkisar antara Rp. 125 ribu hingga Rp. 350 ribu/unit. Omsetnya pun tak main-main. Keuntungan bersih sudah menembus angka Rp. 120 juta hingga Rp. 200 juta pertahunnya.

Tak hanya di sekitar Jawa Barat, pemasaran Produk pun sudah dilakukan hampir ke seluruh wilayah Indonesia seperti Jawa tengah dan Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bali. Mancanegara pun berhasil digenggamnya. Produk Rebana yang mulai populer di Turki, sebagian besar buatan Enjang. Patung-patung buatan Enjang pun sudah sampai di Malaysia. Negara lain seperti Singapura dan Jepang pun tak luput dari genggamannya.

Selain produknya dipasarkan sendiri, usaha yang digeluti oleh ayah dari 3 anak ini terus berkembang karena rajin mengikut pameran sebagai mitra binaan Perum Perhutani. Baginya, ditawarkan untuk mengikuti pameran sama saja Perum Perhutani membantu memasarkan produk-produknya. Dari semua produk tersebut tetap saja, wayang golek Arjuna menjadi primadona yang paling dicari.

Keberhasilan Enjang merupakan daya tarik bagi perbankan. Selain mengambil dana pinjaman lunak PKBL, ia pun meminjam di salah satu Bank BUMN. Baginya hanya BUMN yang dipercaya dan merupakan satu-satunya harapan bagi pengembangan bisnisnya.  Harapannya tak muluk-muluk. Enjang ingin wayang goleknya tetap melenggang, baik nasional maupun internasional.
PKBL Action No. 20, Tahun II Mei 2014