DETIK.COM (25/11/2021) | Hutan De Djawatan merupakan destinasi populer di Banyuwangi. Namun di balik pesonanya itu, asal-usul hutan trembesi ini masih menjadi teka-teki.
Liburan ke Banyuwangi memang belum lengkap bila tak mampir ke Hutan De Djawatan. Hutan ini menawarkan pemandangan nan hijau dan suasana sejuk. Suasananya tentu berbeda dengan destinasi lain yang didominasi pantai.

Daya pikat utama dari Hutan De Djawatan adalah pepohonan trembesi berusia ratusan tahun yang masih kokoh berdiri. Adanya pepohonan ini sukses memberikan kesan seperti berada di negeri dongeng. Banyak juga wisatawan yang menyebutnya sebagai Hutan Lord of The Rings

Detikcom dalam Ekspedisi 3.000 Kilometer bersama Wuling, sempat melihat dan merasakan langsung berada di tengah Hutan De Djawatan. Hutan yang rimbun membuat perasaan tenang. Apalagi warnanya yang hijau, sangat cocok untuk cuci mata.

Namun di balik keindahan hutan ini, detikcom penasaran dengan asal-usul hutan tersebut. Maka, detikcom berbincang dengan Manajer De Djawatan, Bagus Joko mengenai profil hutan itu.

Bagus menjelaskan, Hutan De Djawatan merupakan wisata alam yang memanfaatkan aset Perhutani. Pembangunan Hutan De Djawatan sebagai lokasi wisata sudah dimulai sejak 2017 tetapi baru resmi dibuka sebagai tempat wisata pada Juni 2018.

Bagus menjelaskan, hutan ini kemungkinan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ia mengatakan, sampai saat ini ada dua versi yang menjelaskan sejarah Hutan De Djawatan.

“Ada versi TNI dan versi Perhutani,” katanya.

“Kalau versi TNI, ini dulu adalah arsenal atau gudang senjata milik Belanda. Tapi sampai saat ini walaupun ada beberapa literasi dari masyarakat yang menyatakan itu, kami belum membuktikan secara konkrit sejauh mana ini benar-benar tempat senjata. Saya pribadi pernah melihat petanya TNI, nah De Djawatan itu adalah army tank atau asrama tentara,” Bagus bercerita.

Sementara itu, versi yang lebih jelas adalah versi Perhutani yang menyatakan bahwa Hutan De Djawatan itu dulunya difungsikan sebagai Tempat Penimbunan Kayu (TPK).

“Jadi kayu setelah ditebang, sebelum ke tangan pembeli, ditaruh di sini dulu. Keberadaan tanaman trembesi dimaksudkan supaya kayu yang telah ditebang dalam bentuk batangan itu tidak terkena sinar matahari langsung dan hujan. Jadi tidak mudah pecah atau lapuk,” ujarnya.

Bagus juga pernah mencoba mencari tahu luas asli hutan trembesi ini. Saat ini, luas Hutan De Djawatan sendiri sekitar 9 hektar.

“Kita pernah membuktikan dulu apakah daerah Benculuk ini merupakan hutan trembesi? Ternyata di radius berapa meter di luar lokasi ini kita tidak menemukan tonggak trembesi. Jika seandainya dulu ini luas, hutan trembesi di luar area ini pasti ada lagi. Tapi karena tidak ada, kita bisa menyimpulkan bahwa dulu entah Belanda atau Perhutani sudah menyiapkan lokasi ini untuk TPK,” paparnya.

Selain berfungsi sebagai TPK, Bagus juga menjelaskan bahwa dulunya Hutan De Djawatan ini juga dilewati jalur kereta. Hal itu dibuktikan dengan adanya rel kereta di depan pintu gerbang hutan.

“Dulu ada kereta komuter dari Banyuwangi sampai ke Benculuk. Berarti kayu dari hutan, diangkut ke sini pakai lori karena dulu belum ada truk. Kemudian di sini dishowroomkan. Ketika ada yang beli, diangkut oleh kereta ke pelabuhan yang letaknya di Pantai Marina,” kata dia.

Terkait nama De Djawatan sendiri, Bagus menuturkan nama itu masih terkait dengan Perhutani. De Djawatan dipilih untuk mengingatkan masyarakat akan kejayaan Perum Perhutani.

“Kalau Perhutani itu dulu namanya Djawatan Kehutanan. Orang mengenal djawatan adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang sosial, artinya tidak melulu profit oriented,” ucapnya.

Di masa pandemi COVID-19 ini, Hutan De Djawatan menyambut wisatawan dengan syarat yang sudah divaksinasi. Tempat wisata ini buka dari Selasa-Minggu mulai pukul 08.00-12.00 WIB dan 13.00-17.00 WIB. Harga tiket masuknya adalah Rp 5.000.

Sumber : detik.com

Tanggal : 25 November 2021