SURABAYA – Mendengar nama Sidonganti mungkin banyak orang merasa asing.  Tapi bagi orang Perhutani Jawa Timur, Sidonganti ibarat gambaran benang kusut yang sulit diurai.  Sidonganti merupakan sebuah desa kecil yang berada di sebelah utara Provinsi Jawa Timur yang masuk wilayah Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban.  Termasuk daerah pantura Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 4.330 orang.  Mayoritas masyarakatnya hidup dengan bercocok tanam sistim tanam tadah hujan.

Desa Sidonganti merupakan contoh miniatur desa di tanah air yang menyimpan beragam masalah. Selain letaknya terpencil, kondisi alamnya tidak mendukung untuk kegiatan pertanian. Kemarau panjang dengan curah hujan minim menjadikan sumber air jarang dijumpai di tempat itu.  Akibatnya sistim pertanian tidak berjalan dengan baik. Untuk menopang kebutuhan hidup, masyarakat terpaksa menggantungkan hidupnya pada sektor kehutanan yang merupakan satu-satunya sumber daya yang ada.  Namun sayang interaksinya bersifat negatif.  Kawasan hutannya rusak dan reboisasi yang dilakukan tidak pernah berhasil.

Kondisi yang sudah berlangsung lama jelas tidak menguntungkan bagi Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan di wilayah itu. Masalah ini bukan tidak mendapat perhatian pemangku wilayah. Sejak program Malu (Mantri-Lurah) pada tahun 70-an hingga hingga saat ini PHBM plus diluncurkan namun semuanya belum menuai hasil maksimal atau bahkan bisa dibilang gagal. Gangguan hutan tetap tinggi.  Walhasil perlu perlakuan yang sangat khusus.

Dalam kerangka itulah kemudian Perhutani Jawa Timur bekerjasama dengan Fakultas Antropologi Universitas Airlangga mencoba mempelajari karakter dasar masyarakat Sidonganti sehingga harapannya dapat diperoleh formulasi program yang tepat untuk diterapkan.  Hasil penelitian tersebut dipresentasikan Selasa (29/05), bertempat Kantor Perhutani Jawa Timur, langsung oleh Drs. Moh. Adib, MA sebagai Ketua Tim Peneliti.

Dalam paparannya yang diberi judul “Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Hutan Berbasis Komunitas: Dalam rangka Memutus Matarantai Kemiskinan, Kebodohan dan Kriminalitas,” itu, secara garis besar Adib menjelaskan, akar dari semua masalah yang timbul di tengah masyarakat Sidonganti secara umum ada tiga. Yaitu taraf hidup yang masih tergolong rendah dengan penghasilan yang tidak memadai, tingginya buta huruf yang mencapai angka separo lebih, serta minimnya bekal ketrampilan selain hanya dapat bercocok tanam.  Ketiga faktor tersebut menjadikan masyarakat Sidonganti hidup di bawah garis kemiskinan.

Untuk itu kata Adib, stakeholder selaku pemangku kepentingan dalam memberikan bantuan subsidi secara langsung kepada masyarakat miskin harus terintegrasi dalam sebuah rencana pengelolaan sosial secara partisipatif, komprehensif, terencana dan sistematis. “Sehingga mampu mendorong proses pemberdayaan masyarakat (empowering), serta dapat memberikan peluang (enabling) dan yang terakhir dapat memberikan perlindungan (protection),” kata dosen Fakultas Antropologi Unair Surabaya itu.

Menanggapi hasil penelitian tersebut Wakil Kepala Unit Perhutani Jawa Timur, Lukman Imam Syafi’i, mengatakan bahwa hasil dari penelitian ini akan ditindaklanjuti dengan cara menggandeng intansi terkait baik dari pemerintah, BUMN maupun swasta. Pihaknya melalui tiga Administratur  yang terlibat langsung, yakni Administratur KPH Parengan, Tuban serta Jatirogo, juga berkomitmen untuk mendukung secara langsung dari sisi kegiatan agrikulturnya.  Lukman juga mengatakan, agar tidak terjebak kemiskinan yang berkepanjangan, masyarakat Sidonganti mungkin perlu didorong untuk mau keluar dari wilayahnya.  “Caranya dengan membekali mereka ketrampilan yang cukup sehingga bisa berkarya di luar wilayah,” ujarnya. (Patuh Afandi/Humas U2)