AKARPADINEWS.COM, Jakarta (30/3) | SETIAP kali diminta menjadi juri sayembara atau lomba penulisan cerita pendek atau sejenisnya, hal pertama yang menarik perhatian saya adalah gagasan di balik tajuk dan tema, baik yang berkembang sebagai ilusi, fantasi, maupun imajinasi.

Meskipun banyak orang menempatkan ketiganya sebagai sesuatu yang sama, berupa khayalan. Saya membedakan ketiganya, meski dalam satu tarikan nafas.

Ilusi adalah khayalan yang berkembang sedemikian rupa dan mengembara mengarungi cakrawala khayali. Fantasi adalah khayalan yang berkembang secara khas dan bergerak antara empirisma dan non empirisma. Akan halnya imajinasi, saya pahami, sebagai deskripsi abstraktif yang berada di luar empirisma manusia, namun di dalamnya terdapat intuitive reason.

Karena itu, imajinasi bisa merupakan realitas kedua yang berangkat dari realitas pertama dalam kehidupan empiris, atau realitas kedua yang bisa dimanifestasikan dalam realitas pertama kehidupan sehari-hari yang bersifat empiristik.

Berbeda dengan novel, novellette, atau roman, yang menjadi ruang pengembaraan ilusi, fantasi, dan imajinasi yang relatif lebih luas, cerita pendek merupakan medium pengembaraan ilusi, fantasi, dan imajinasi yang berbatas dan terbatas. Kendati demikian, cerita pendek, sama dihidupkan oleh tiga daya utama : bahasa, plot, dan setting.

Dalam menilai naskah lomba cerita pendek Green Pen Award – Perhutani, yang bertema sentral pada hutan dan lingkungan, saya mengikuti alur dan bingkai tujuan penyelenggaraan lomba. Tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang sangat mungkin dihasilkan oleh ilusi, fantasi, dan imajinasi penulis terkait dengan tema. Termasuk persinggungannya dengan realitas empirik mutakhir (aktual), seperti pembalakan hutan secara liar (illegal loging), dampak pembakaran hutan dalam kehidupan umat manusia, konservasi hutan dan korelasinya dengan lingkungan hidup, termasuk korelasi deforestasi (penebangan hutan) dengan beragam realitas pahit kehidupan sosial, seperti longsor, banjir bandang, dan lainnya.

Pun, korelasi hutan dan lingkungan dengan budaya dan peradaban manusia, yang mempertemukan realitas lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya.

Dari tiga kategori cerpen yang dilombakan (untuk anak setingkat SMP, SMA dan Mahasiswa, Masyarakat Umum, Guru, Dosen, dan penulis cerpen) tiga daya utama cerpen yang disebut di atas, menjadi basis penilaian. Selain ketiga hal itu, saya menggunakan pendekatan lain, yaitu framing atas imajinasi penulis, dengan demikian menjadi jelas perbedaan asasi antara cerpen dengan esai, prosa liris, atau bakan puisi, yang masing-masingnya mempunyai daya tersendiri sebagai medium.

Pendekatan ini sipergunakan, terutama untuk melihat korelasi karya cerpen peserta dengan upaya kolektif manusia memelihara lingkungan hidup, khasnya hutan, dengan ragam pendekatan dan metodologinya. Sekaligus daya gugah cerpen terhadap kesadaran individual dan kolektif kita menjalankan amanah alamiah: menjaga dan memelihara lingkungan hidup, sebagai ekspresi tanggungjawab terhadap alam.

Dari pendekatan ini, saya memperoleh gambaran menarik tentang daya ungkap para peserta lomba. Tidak hanya dalam konteks, hutan, lingkungan hidup, dan bumi semata. Melainkan juga ekspresi budaya masyarakat lokal (local wisdom dan local genuine)Indonesia dalam menyikapi realitas konkret lingkungan alam yang nyata. Termasuk berbagai fakta brutal yang menyertainya (pembakaran hutan, illegal loging, dampak sosial deforestasi, tak terkecuali degradasi moral).

Sebagian besar peserta yang karyanya masuk seleksi akhir, sekitar 100-an naskah dari ribuan naskah yang masuk, menunjukkan kepekaan untuk mengungkap korelasi nilai dalam menghadapi orientasi masyarakat modern terhadap lingkungan alam, khasnya hutan.

Mereka menghadirkan bagaimana kearifan dan kecerdasan lokal masyarakat lokal Dayak, Kajang, Papua, Orang Rimba, Sasak, dan lainnya sebagai benteng utama pelestarian lingkungan hidup. Khasnya hutan. Termasuk bagaimana nilai-nilai lokal tersebut memberi makna atas realitas hutan hujan tropis Indonesia.

Dari naskah-naskah cerita pendek yang kemudian menjadi pemenang, selain hal sedemikian, kita juga mendapatkan kesadaran baru untuk melihat lingkungan hidup dan kehutanan secara multidimensional. Termasuk dimensi nasionalisme, tradisi, spiritualitas dan religi, yang sungguh mencerminkan ciri dan cara menjadi sungguh Indonesia. Ciri dan cara untuk melihat Indonesia dalam konteks tanah air yang harus dijaga. Antara lain dengan policy design yang perlu melibatkan masyarakat, sehingga seluruh kebijakan tentang lingkungan hidup dan kehutanan kita, kelak merupakan kebijakan yang berakar kuat di masyarakat.

Laksana sebuah pohon, yang akarnya kokoh karena partisipasi sosial rakyat yang kuat dan bersungguh-sungguh. Tegakannya kuat menuju cakrawala, serta dedaunan, dahan, dan rantingnya tumbuh sebagai bagian dari berkah Tuhan bagi Indonesia kita.

Naskah-naskah cerpen yang masuk dan yang tampil sebagai pemenang, menarik sebagai refleksi untuk memperkuat kreativitas kita menjadi sungguh Indonesia |

*) Juri Perhutani Green Pen Award 3 – 2016

Tanggal : 30 Maret 2016
Sumber : akarpadinews.com