Sarung Tenun-wnrejan-web

Dok.Korkom/@2013

Lebaran telah lewat. Salah satu sudut desa Wanarejan Utara, Kecamatn Taman, Pemalang, Jawa Tengah siang itu sibuk. Kesibukan yang sama seperti hari-hari menjelang lebaran. Suara alat-alat tenun menghentak-hentak berirama. Pekerjanya menata komposisi benang, saling bercerita tentang indahnya hari fitri yang baru mereka lalui.

Seorang laki-laki terlihat menikmati suasana itu dan asyik mengamati hasil tenunan. Dialah Miftahudin, pemilik usaha sarung di desa Wanarejan Utara tersebut. Ia tidak bermimpi ktika mampu membangun pabrik sarung tenun di belakang rumahnya.

Lulusan SLTA, suami dari Sri Mahayanti awalnya adalah penjual minyak wangi keliling di desa. Dari Ayah mertuanya, ia mendapat satu set alat tenun bukan mesin (ATBM) dan belajar menenun sarung. Kreasinya ia jual dengan cara menitipkan pada ayah mertua yang pengusaha sarung di desanya. Hasil usaha pertama ia belikan alat tenun baru beberapa set termasuk bahan baku.

Krisis yang melanda Indonesia tahun 1998, berdampak pada usaha tenun lelaki ini terhenti satu tahun. Pasaran sepi, usaha mati suri. Saat itu masyarakat lebih memilih membeli pangan daripada mengeluarkan uang untuk selembar sarung.

Ketika usaha terpuruk, maka akal upaya manusia bekerja dan mata seperti tidak mengantuk. Demikian motivasi Miftahudin kembali menguat saat melihat salah satu acara televise tentang cara meminimalisasi bahan benang, pewarna dan bahan lain agar tenunan sempurna.

Dengan tekadkuat ia melanjutkan usahanya. Untuk sebuah sukses ia mengambil sisi positif keberhasilan usaha ayah mertuanya, sedangkan sisi negative dijadikan bahan pembelajaran.

Benar saja, lelaki berputra dua ini mulai kebanjiran pesanan tahun 2004. Ujian lain muncul, modal kurang. Bagi industry rumahan, modal kerap kali menjadi kendala dimana-mana. Pinjaman perbankan menurutnyz perlu prosedur rumit dan agunan. Ia mundur teratur. Sampai akhirnya ia mendapat info dari salah satu kerabatnya tentang skema pinjaman lunak perusahaan BUMN.

Miftahudin mendapat dana pinjaman PKBL dari Perhutani Pemalang sebesar Rp. 10 juta pada tahun 2007. Nilai ini hanya separuh dari 20 juta yang dia ajukan dalam proposal. Menurutnya mekanisme administrasi PKBL lebih sederhana tanpa jaminan apapun. Tiga tahun pinjaman dapat ia lunasi karena usahanya terus membaik dan perputaran modalnya cepat. Saat ini usahanya telah memasuki periode kedua mendapat dana pinjaman PKBL Perhutani sebesar Rp. 15 juta rupiah dengan jangka sama.

Tidak ada upaya serius yang sia-sia. Usaha yang ditekuni bersama istrinya ini, dibantu oleh 50 orang di desanya. Dan, selama dua tahun terakhir telah mengkaryakan sebanyak 87 orang pada 18 bagian proses. Upah diberikan atas dasar prestasi kerja karyawan. Semakin banyak menghasilkan sarung tenun dalam sekali proses, semakin besar upahnya. Hal ini membuat semangat para karyawan yang umumnya warga desa. Ia juga memberikan bonus pada hari-hari besar keagamaan sebagai apresiasi dan penghargaan pada setiap karyawannya. Omzet sarung tenun per bulan dari Rp. 10 juta, sekarang mencapai Rp. 100 juta rupiah per bulan.

Selain bisnis sarung tenun, lelaki gigih ini mengembangkan uaha kebun, grosis pakaian dan parfum lokalan.

Mengurangi angka pengangguran dan menciptakan peluang kerja bagi masyarakat di desa merupakan harapannya. Sebagian besar penduduk desa Wanarejan Utara ini sekarang mengandalkan sarung tenun sebagai mata pencaharian mereka.

Semua alat tenun ATBM prinsipnya sama cara mengoperasikan dan menghasilkan kain. Apa keistimewaannyasarung tenun Wanarejan Miftahudin ? Menurut para langganan, kain tenunnya sangat adaptif pada kondisi cuaca. PAda saat cuaca dingin akan menghangatkan, bila cuaca panas maka sarung tenun Wanarejan akan terasa nyaman dan sejuk di badan.

Tidak percaya ? silakan membeli dan memakai pada berbagai kesempatan. Sarung tenun Wanarejan ini adem dan menawan.

Penulis : Soesi Sastro
Sumber : Ufuk PKBL Action No 12 Tahun I September  2013