KOMPAS.COM (12/08/2021) | Porang merupakan salah satu tumbuhan dari famili Araceae atau talas-talasan yang banyak tumbuh di Indonesia. “Di dunia ini, ada 200 jenis genus Amorphophallus, ada sekitar 23 yang asli Indonesia,” kata Prof. Dr. Edi Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB sekaligus Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB kepada Kompas.com, Kamis (12/8/2021). Baru-baru ini porang menjadi perbincangan karena memiliki banyak manfaat. Bahkan, porang termasuk salah satu komoditas ekspor yang memiliki nilai tinggi.

Porang ada sejak zaman penjajahan Jepang

Meski baru populer selama beberapa tahun belakangan, porang sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Edi sempat bertanya kepada kepada para tetua Jawa. Kebanyakan menuturkan bahwa porang sudah ada sejak zaman dahulu.

“Porang itu asli Indonesia dan sudah ada sejak dahulu kala tetapi di sini record pemanfaatan tanaman porang itu tidak terlalu jelas,” tutur Edi.

Mengutip berita Kompas.com yang tayang pada Kamis (22/4/2021), porang sudah dimanfaatkan sejak masa penjajahan Jepang pada 1942. Saat itu, Jepang menemukan porang dan melihatnya sebagai umbi yang mirip dengan tumbuhan A. Konjac. Porang kemudian dijadikan sebagai logistik perang oleh Jepang, terutama sebagai sumber makanan selama perang. Beberapa puluh tahun setelahnya, Edi menuturkan, kepopuleran porang mulai naik di kalangan masyarakat Indonesia.

Eksistensi porang di Indonesia

“Dulu (porang) pernah booming tahun 80-an, lalu diinsiatif oleh Perhutani untuk menanam di hutan-hutan di Pati, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Edi. Pada 1990-an, porang banyak ditanam di wilayah Jawa Timur, khususnya Madiun dan Nganjuk yang terhubung dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Porang ditanam di kawasan hutan dan dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan oleh para petani. Pasalnya, cara menanam porang cukup mudah dan tidak membutuhkan banyak peralatan khusus. Porang ditanam saat musim kering dan dibiarkan hingga sebelum musim hujan tiba.

“Musim kering yang biasanya tidak ada kegiatan lagi, mereka justru dapat pendapatan dari porang, dampaknya memang besar banget untuk masyarakat yang ada di sekitar hutan,” kata Edi. Sayangnya, eksistensi porang kembali menurun. Sebab, menurut Edi, dahulu porang tidak terlalu terekspos oleh media massa. Berbeda dengan saat ini, porang dengan mudah diketahui masyarakat Indonesia karena adanya media. “Belakangan ya saya kira karena kondisinya lagi pandemi dan orang banyak yang pakai media massa untuk komunikasi, jadi cepat banget tersebarnya,” tutur Edi.

Ekspor porang melonjak

Sekitar tahun 2006 dan 2007, Edi menuturkan, China dan Jepang yang dikenal sebagai produsen utama konjac sempat terserang virus yang menyebabkan sulit untuk memproduksi konjac. Oleh karena itu, dibutuhkan penangan ekstra untuk memproduksi konjac. Salah satunya adalah dengan menggunakan pestisida. Biaya tambahan pestisida dan proses penghangatan konjac yang memakan biaya cukup banyak membuat Jepang memilih porang asal Indonesia sebagai pilihan efektif.

“Dari dulu perusahaan itu ekspor ke Jepang, kemudian ketika dibuka ke publik, banyak orang yang mencari porang, masuklah beberapa eksportir,” ujar Edi. Dari sana, pasar ekspor porang mulai terbuka. Orang-orang yang biasanya mendapatkan konjac dari Jepang dan China mulai kekurangan stok dan akhirnya terarah ke Indonesia “Saya kira keberhasilan pemerintah membuka pasar ekspor itu bagus. Sekarang bahkan sudah mulai ekspor ke Eropa,” kata Edi. “Porang ini kan dari sisi keunggulan produknya sudah luar biasa, yang menjadi tantangan kita adalah mempertahankan agar kualitas dan harganya tetap kompetitif,” tutupnya.

Sumber : kompas.com

Tanggal : 12 Agustus 2021