Di luar gerimis jatuh. Hari yang beranjak sore meredup. Meski begitu, ruangan di dalam sebuah galeri di bilangan Cipete terasa hangat. Selain pencahayaan yang ditata apik, hal ini karena furnitur-furnitur kayu yang hadir di sana. Yang tampak wajar menyatu dengan seluruh elemen ruangan. Yang jujur pada materialnya, diolah tanpa meninggalkan kealamiannya.
Di Salah satu sudut yang menggambarkan ruang keluarga, tatanan sofa, meja, rak, karpet, dan walipaper berpadu manis. Sofa kayu dengan bantalan biru muda, rak dengan lukisan burung monokrom dan lampu meja di atasnya, serta wallpaper hijau bercorak dedaunan di belakangnya. Galeri itu adalah ruang display Kekayuan, produsen perabot berbahan dasar kayu.
Bagus Rochadiat, pemilik galeri ini, meniti tangga yang juga berlapis kayu ke bagian atas galeri, mengajak kami mengobrol di sana. Kursi ergonomis dan meja yang kokoh menemani obrolan sore itu. “Meja ini dibuat dari satu gelondongan kayu, dari pohon yang sama,” kata Bagus sambil menunjuk meja yang dikitari.
Tampak jelas, meski terdiri atas tiga bilah papan yang disatukan, setiap serat kayu pada bagian sambungan permukaan meja kelihatan berjalinan. Detail-detail pada kayu itu jugalah yang membuat Bagus jatuh cinta. “Serat kayu itu bercerita,” imbuhnya.
Bagi Bagus, merangkai cerita dari setiap serat kayu itulah bagian paling seru dalam membuat perabot seperti yang dilakoninya saat irii. “Kami berusaha memproses material mentah menjadi sesuatu yang estetis dan bisa menjadi ikon di dalam satu ruangan.”
Jika bekerja adalah mengikuti ke mana hati membawa, di sinilah tempat Bagus. Meski berlatar pendidikan psikologi, kecintaan terhadap kayu dan desain interior lebih kuat memanggil. Menggandeng rekannya Hendra, Bagus setia pada jalan desain interior. Mereka berdua menjadi motor yang menggerakkan bisnis ini.
Desain Kekayuan biasanya mengambil gaya Skandinavia. Perabotnya ramping dengan kaki-kaki yang mengecil sehingga kesannya ringan. “Ada juga kesan jadulnya,” jelas Bagus. Sebagian kecil perabotnya juga mengadaptasi gaya industrial yang memadukan kayu dengan material metal. Finishing-nya pun lebih banyak minimalis, rustic. Ini dilakukan agar detail kayu aslinya tetap tampak jelas.
Hendra yang kerap berurusan dengan konsumen belajar membaca selera. Ada banyak faktor yang memengaruhi pembelian selain material dan desain itu sendiri. “Untuk furnitur, ini terkait antara lain dengan ukuran, fungsi, dan segi higienitas,” jelas Hendra.
“Karena konsumen juga dapat memesan sesuai keinginan atau customized, kami bisa melihat pola-pola yang disukai konsumen. Jika kira-kira sejumlah konsumen punya permintaan yang sama atau mirip-mirip, kami bisa menjadikannya standar untuk produk kami,” lanjutnya.
Angin segar industri mebel
Kekayuan menjadi angin segar di tengah perjuangan Indonesia untuk menggalakkan pengolahan bahan mentah, terutama kayu. Negara kita kaya dengan kayu. Sayangnya, dari total nilai perdagangan mebel dunia yang mencapai 112 miliar dollar AS, Indonesia baru mampu menggarap pasar senilai 1,7 miliar dollar AS pada 2012.
Bisnis mebel membuka peluang besar untuk peningkatan nilai kayu mentah. Apalagi, jika kayu yang digunakan merupakan kayu yang bersertifikat, seperti kayu dari Perum Perhutani yang digunakan Kekayuan. “Dengan kayu yang bersertifikat, kita tahu bahwa kayu yang kita gunakan diolah secara bertanggung jawab, tidak asal tebang,” tutur Bagus.
Dengan keseriusan untuk menjaga kualitas, Kekayuan mampu merambah Ibu Kota sampai ke luar kota seperti Surabaya atau Bandar Lampung. Tak sedikit pula konsumen ekspatriat asal Perancis, Amerika, Australia, Korea, atau Singapura. “Pernah orang asing memberi komentar. Jati itu investasi, makin tua makin mahal,” cerita Hendra.
Tak pernah akan ketinggalan zaman, furnitur dari kayu jati justru akan kian menampakkan pesonanya seiring usianya yang bertambah tua. Seperti yang digambarkan Bagus tentang produk-produk Kekayuan, “Beautiful, simple and everlasting.”
Sumber  : Kompas
Tanggal  : 6 Pebruari 2015