KOMPAS (30/3/2017) | Bersepatu bot warna hijau tua, mengenakan celana panjang penuh saku serta tas pinggang, Purnomo (40) berjalan meniti jalur bebatuan sambil membawa parang. Kaus oblong warna merahnya basah oleh keringat. Dia baru saja selesai kerja bakti bersama beberapa warga desa memperbaiki pipa saluran air bersih di tepi sungai.

Kerja bakti dan gotong royong warga Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itulah yang kini mengubah wajah lingkungan, sosial, dan ekonomi desa. Melalui proses panjang sejak 2008, Pumomo yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger perlahan mengajak warga menggali potensi religi dan budaya. Warga juga diajak mengangkat keindahan alam desanya, terutama dengan wisata alam Curug Jenggala

Desa Ketenger di lereng Gunung Slamet sisi timur dikaruniai pemandangan alam yang lengkap. Perbukitan dengan pohon-pohon pinus dan hutan yang rimbun memberikan kesejukan udara. Hamparan sawah warga berjejer membentuk teras-teras bertindak yang rapi Air sungai yang bening dan deras mengalir dari air terjun menyusun bebatuan.

Sejumlah situs sejarah, seperti situs Lemah Wangi Batur Lurnpang atau Padepokan Galuh Purba dan situs Batur Semende juga ada di sana Untuk menjaga kearifan lokal, setiap dua tahun sekali ada ritual baritan. Dalam ritual itu, warga yang memiliki hewan peliharaan menari bersama penari lengger untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.

Kemudian, pada 2015-2016, Purnomo bersama sejumlah warga desa berinisiatif memanfaatkan aliran air terjun dengan ketinggian sekitar 15 meter, yang merupakan pertemuan antara Sungai Banjaran dan Sungai Mertelu, sebagai obyek wisata.

Didukung Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur dengan modal untuk membangun jembatan dan “dek cinta”, yaitu papan berbentuk hati untuk wisatawan berswafoto, Pumomo mengajak warga bergotong royong menata lokasi sekitar 0,25 hektar agar dapat menarik wisatawan. “Awalnya hanya empat orang yang membantu, tapi kemudian bertambah jadi 28 orang, lalu sekarang sedikitnya ada 50 orang yang terlibat mengelola wisata ini,” kata Pumomo, Rabu (22/3).

Warga desa butuh waktu sekitar dua minggu untuk membangun jembatan, membuat jalan setapak sepanjang 500 meter dengan ratusan anaktangga dari tanah yang ditahan bambu, membangun gapura selamat datang, serta membersihkan pohon rengas dan kemadu yang bisa mengakibatkan gatal pada kulit “Ada sekitar 10 pohon rengas dan kemadu yang kami tebang, tapi kemudian kami menanam 500 bibit pohon nagasari, tembagan, dan klengsar yang merupakan tanaman endemik di lereng Gunung Slamet,” kata Pumomo.

Masyarakat sejahtera

Kendati ada cemoohan dari beberapa warga yang meragukan usaha mengelola wisata Curug Jenggala, Pumomo tetap meneruskan membangun tempat itu. Dengan misi hutan lestari masyarakat sejahtera. Pumomo yakin manfaat wisata alam itu bisa dirasakan bagi semua warga di desa itu.

Melalui promosi di media sosial, Curug Jenggala yang baru dibuka pada Oktober 2016 mampu mendongkrak pengunjung secara drastis. Kalau biasanya pengunjung sekitar 2.000 orang per bulan, kini jumlahnya bisa mencapai 10.000-13.000 orang per bulan. Pemasukan dari wisatawan mencapai Rp 50 juta-Rp 67 juta per bulan. “Saat ini sedikitnya ada sembilan pelataran rumah warga yang dijadikan tempat parkir. Warga yang tadinya berburu burung di hutan ada yang beralih menjadi tukang ojek atau mengurus taman dan ibu-ibu rumah tangga juga membuka warung makanan ringan,” tutur Purnomo yang sehari-hari bekerja sebagai operator pintu jaga air PLTA Ketenger.

Menurut Purnomo, aneka jenis burung yang banyak diburu warga antara lain burung percit, depyu mini, kutilang hijau, dan kanis jenggot Hasil tangkapan itu dijual dengan harga Rp 30.000 hingga Rp 300.000 per ekor. “Biasanya warga memburu dengan getah atau jaring,” ujarnya

Sejumlah warga mengapresiasi usaha dan kerja keras Purnomo dalam mengelola wisata alam di desanya tersebut.

Joko (45), warga desa yang dulu sering berburu burung di hutan, misalnya, kini turut mengelola lingkungan sekitar tempat wisata curug. “Dulu saat cari burung harus berjalan kaki ke dalam hutan sampai delapan jam dan menginap di hutan. Paling banyak dapat lima burung. Sekarang tidak usah masuk ke dalam hutan, bersih-bersih di sini juga sudah dapat pemasukan,” kata Joko.

Warga lain, Kusno (29), kini menjadi tukang ojek dengan pemasukan Rp 30.000-Rp 50.000 di hari biasa, sedangkan di hari libur bisa mencapai Rp 100.000 – Rp 150.000. Sebelumnya, dia menjadi buruh bangunan dan buruh tani dengan upah Rp 60.000 per hari. “Jadi buruh tenaganya terperas seharian. Sekarang lebih baik,” kata Kusno.

Uang pemasukan dari penjualan tiket ujar Pumomo, dibagi dua bagian, yaitu 40 persen bagi Perhutani sebagai pemilik area hutan dan 60 persen bagi LMDH Gempita Pemasukan bagi LMDH Gempita itu kemudian dibagi-bagi lagi, masing-masing untuk upah tenaga kerja, pengembangan, kas LMDH, kas desa, dana bina lingkungan desa dana bina budaya dan religi, serta untuk dana-dana sosial.

Setidaknya ada 30 pengurus LMDH Gempita yang mengelola tempat wisata itu. Mereka berbagi tugas, antara lain menjaga loket masuk, mengembangkan usaha, dan menjaga keamanan. Pendapatan mereka per bulan berkisar Rp 1 juta – Rp 13 juta. Selain dampak ekonomi, setidaknya 160 keluarga di Dusun Kalipagu juga sudah mulai sadar wisata, antara lain bagaimana menyambut pengunjung dengan ramah serta tidak sembarangan menjemur pakaian dalam di depan rumah.

Selain terlibat aktif dalam mengembangkan wisata dan menjaga hutan di desa. Purnomo pernah mengikuti Semiloka Nasional Hutan Indonesia di Jakarta pada September 2016. Purnomo juga pernah menjadi pembicara pada diskusi publik bertema “Kearifan Masyarakat Lokal Lereng Gunung Slamet dalam Menghadapi Ancaman Bencana” yang digelar Korps Mahasiswa Pecinta Alam FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, pada 2009.

Purnomo menyampaikan, dek cinta yang dibangun di Curug Jenggala bukan sekadar papan berbentuk hati yang dipakai untuk berswafoto. Fasilitas itu, katanya, juga sebagai pengingat bagi warga dan semua pengunjung tentang semangat handuweni (memiliki). “Dengan semangat handuweni, orang akan ikut mencintai dan menjaga lingkungan serta sesamanya,” ujar Purnomo.

Sumber: Kompas, hal. 16

Tanggal: 30 Maret 2017