Kawasan pepohonan jati yang rimbun akan menyambut Anda ketika bertandang ke Desa Wanawali, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Namun, siapa sangka di pinggiran jalan tanpa aspal sepanjang kawasan hutan milik Perum Perhutani itu Anda juga bisa menemukan lahan seluas 17,6 hektare tanpa pohon jati sebatang pun.

Lahan luas itu awalnya juga ditanami ratusan pohon jati. Namun, setelah pepohonan menjadi tua dan ditebang, lahan itu dibiarkan kosong. Kini areal tersebut dijadikan lahan pertanian tumpang sari dengan beragam varietas, yaitu tanaman semusim seperti padi dan jagung hingga kedelai.

Tumpang sari ialah sistem penanaman varietas tanaman produktif di sela tanaman utama. “Petak 99C seluas 17,6 hektare ini sekarang menghasilkan 3,5 ton per hektare. Padahal estimasi awal kita hanya 2,5 ton. Ini merupakan hasil kerja sama Perhutani dengan masyarakat sekitar untuk peningkatan produksi pangan,” kata Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto saat menghadiri acara Panen Raya Padi di Purwakarta, kemarin.

Panen raya pertanian tumpang sari tersebut merupakan bagian program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) sebagai bentuk sinergi BUMN, pemerintah, dan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai, serta pemanfaatan lahan kering dalam kawasan hutan. Pada kesempatan itu, Menteri Kehutanan Zulki?i Hasan menjelaskan, mengingat pentingnya masalah pangan bagi kelangsungan kehidupan manusia, Presiden telah memberikan arahan terbaru dalam agenda ekonomi khusus. Salah satunya dengan penyediaan lahan pertanian pangan seluas 200 ribu hektar di beberapa wilayah Indonesia.

“Terkait agenda tersebut, hari ini dilakukan panen raya padi hasil tumpang sari di lahan Perhutani. Padi varietas Inpago yang akan dipanen nanti merupakan hasil garapan 39 orang Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wanajaya, dengan perkiraan produksi panen 3,5 ton/ha,” kata Zulki?i. Kementerian Kehutanan, menurutnya, sangat mendukung ketahanan pangan nasional. Mereka bahkan menempatkan pangan sebagai program strategis dalam pengembangan hutan sebagai sumber pangan, energi, dan air.

Kontribusi sektor kehutanan dalam penyediaan pangan secara tradisional telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ada berbagai produk pangan nabati dari hutan, seperti umbi-umbian (porang, suweg), umbut rotan, buah, madu, sagu, dan jamur. Ada pula produk pangan hewani yang dikembangkan melalui penangkaran rusa.

“Berbagai produk hutan yang saya kemukakan tadi merupakan kontribusi langsung dari hutan terhadap penyediaan pangan yang nilainya cukup besar. Sebagian bahkan sudah menjadi komoditas ekspor,” kata Menhut. Tumpang sari disamping kontribusi langsung, pemanfaatan hutan dalam penyediaan pangan juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan hutan untuk memproduksi sumber pangan.

Pemanfaatan kawasan hutan produksi, zona pemanfaatan taman nasional, dan hutan lindung sudah banyak dilakukan bersama masyarakat. Agroforestry, silvo?shery, dan silvopasture sudah dikembangkan di berbagai wilayah, dan secara nyata sudah memberikan kontribusi besar dalam penyediaan pangan. Selain itu, juga dilakukan pengayaan tanaman dengan memanfaatkan ruang tumbuh menggunakan jenis pohon serbaguna (multipurpose tree species), seperti petai, sukun, kemiri, aren, durian, dan mangga.

Adapun Perum Perhutani telah mengembangkan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), salah satunya melalui pola tumpang sari. Hingga 2010, luas kontribusi pangan dari sektor kehutanan mencapai lebih dari 16,4 juta hektare, dengan luas rata-rata mencapai 6,3 juta hektare/tahun dalam bentuk kegiatan tumpang sari pada kegiatan rehabilitasi lahan, pembuatan hutan tanaman, dan hutan rakyat.

Program tumpang sari pada PHBM telah memberikan kontribusi pangan sebanyak 13,5 juta ton yang setara dengan Rp9,1 triliun. Potensi pangan itu berupa padi 856.802 ton, jagung 7.092.870 ton, kacang-kacangan 635.441 ton, dan jenis pangan lainnya 4.956.348 ton. Di sisi lain, dari kegiatan PHBM juga telah terserap tenaga kerja lebih kurang 4,8 juta orang dengan tambahan penghasilan Rp1,6 triliun.

Memotivasi masyarakat dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan usaha tani yang bukan sawah atau areal hutan rakyat bukanlah hal yang mudah. Hambatan yang dihadapi salah satunya ialah masalah bibit pohon yang bermutu dalam jumlah cukup dan tepat waktu. Dengan demikian, pada kesempatan itu Kemenhut menyerahkan dua unit kebun bibit rakyat (KBR) kepada masyarakat Purwakarta. “Setiap KBR akan diberi bantuan pembiayaan sebesar Rp50 juta,” ujar Menhut.

Sampai 2014, Kemenhut menargetkan pembangunan KBR sebanyak 48 ribu unit. Selain itu juga dibangun 23 unit persemaian permanen di 22 provinsi, yang secara keseluruhan akan memproduksi 35 juta batang bibit pohon untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang juga hadir dalam panen raya padi menyerahkan bantuan kredit usaha rakyat (KUR). Pemberian KUR merupakan komitmen pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sehingga kesejahteraan mereka meningkat.

“Sinergi antara kebutuhan masyarakat dan pemerintah dapat diwujudkan dengan program GP3K ini. Negara butuh stabilitas dan ketahanan pangan. Petani pun haruslah sejahtera,” kata Hatta. Dia menjelaskan pemerintah akan selalu meningkatkan aksesibilitas masyarakat penerima KUR. “Tahun ini ada alokasi Rp30 triliun untuk KUR,” kata Hatta. (*/S-25)

MEDIA INDONESIA :: 26 Maret 2012, Hal. 11