Jurnas.com, Yogyakarta | Krisis kedelai di tanah air terjadi karena banyak berkurangnya areal lahan pertanian. Tingginya import kedelai terjadi karena produksi kedelai dalam negeri tak bisa memasok kebutuhan permintaan kedelai untuk berbagai produk olahan dalam jumlah yang besar. Pemerintah bisa memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan yang dimiliki oleh Perhutani dan lahan pertanian di luar Jawa untuk penanaman kedelai varietas unggul di daerah.

Prof Dr Didik Indradewa, Dip. Agr.St., pakar agronomi dari Fakultas Pertanian UGM menyatakan kebutuhan kedelai impor cukup besar karena perajin tempe banyak memilih kedelai impor dengan alasan harga yang murah dan ketersediaan pasokan ada setiap waktu.

“Berbeda dengan kedelai lokal yang hanya tersedia di musim tertentu. Perajin tempe kita banyak anggap kedelai impor lebih bagus dari kedelai lokal, karena ukuran lebih besar,” kata Didik Indradewa dalam bincang-bincang dengan wartawan di Fortakgama UGM, Rabu (11/9).

Dijelaskan, kedelai lokal rata-rata punya ukuran 15 gram per 100 butir sementara kedelai impor ukuran bia 18 gram per 100 butir dengan warna putih dan kandungan protein yang tinggi yaitu 35 persen. Kedelai lokal jarang diminati, karena minimnya sosialisasi dan penggunaan kedelai lokal yang unggul kepada masyarakat.

Didik optimis, Indonesia bisa lakukan swasembada kedelai, apalagi dalam catatan ada sejumlah varietas kedelai lokal yang memiliki ukuran besar seperti Burangrang, Bromo dan Argomulyo yang bisa mencapai 100 gram per butir. Kalau terkait dengan kandungan protein, ada varietas yang bisa terdapat kandungan protein hingga 45 persen.

“Minimnya peminat varietas kedelai lokal, membuat pembenihan juga tak banyak dilakukan. Butuh sosialisasi intensif kepada petani agar mendapatkan kedelai varietas unggul untuk ditanam di lahan. Kalau lebih banyak petani menanam kedelai, krisis kedelai tak terjadi lagi,” katanya.

Di tahun 1992, Indonesia disebutkan pernah mampu hasilkan hingga 1,6 juta ton. Angka tersebut terus menurun karena areal lahan pertanian yang berkurang. Produksi kedelai hanya 800 ton per tahun. Jika krisis kedelai tak teratasi, petani enggan menanam kedelai karena produktivitas yang rendah, kondisi impor kedelai akan terus terjadi.

“Petani harus didorong agar mau tanam kedelai. Mereka harus diberi bibit dan pengetahuan teknologi pertanian agar ada peningkatan produktivitas. Sudah banyak hasil lembaga penelitian dikembangkan oleh perguruan tinggi, ada sejumlah varietas kedelai unggul yang bisa mencapai hasil 3-4 ton per hektar. Kini rata-rata produksinya 1,3 ton per hektar,” katanya.

Perluasan lahan pertanian, disebutkan syarat mutlak untuk peningkatan produksi pertanian. Tidak hanya untuk kedelai saja, tapi juga komoditas utama lain seperti padi. Indonesia saat ini disebutkan masih kekurangan beras untuk kebutuhan pasokan cadangan pangan yang mencapai 200 ribu ton.

“Kita itu setidaknya butuh perluasan lahan pertanian, agar bisa melakukan swasembada pangan. Baik untuk komoditas kedelai, jagung maupun padi agar bisa mencukupi beras nasional,” kata Didik.

Jurnas. com | 12 September 2013 | 08.40 WIB