Lamban, birokratis, sarat dengan pungli, dan jadi sapi perah pemerintah serta politisi. Itulah serenceng stigma negatif yang selama belasan, bahkan puluhan tahun, melekat pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejatinya, BUMN punya peran yang luar biasa. Jumlahnya yang mencapai 142 perusahaan dengan kapitalisasi sekitar Rp 2.500 triliun, benar-benar sebuah potensi yang dahsyat. Sayangnya, BUMN kita sudah amat lama bergelimang dengan pelbagai stigma buruk.
Nakhoda Kementerian BUMN kini disandang Mustafa Abubakar. Pria yang pernah menjadi Dirut Perum Bulog dan Gubernur Aceh ini ternyata memiliki passion kuat untuk memberdayakan BUMN menurut dia, jika dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel maka BUMN sangat powerful untuk membangun kesejahteraan bangsa. Obsesinya cuma satu : menciptakan BUMN sebagai power house pembangunan negeri ini. Bagaimana dia mewujudkan mimpi-mimpinya? Bagaimana dia menepis segala kendala dan resistensi yang ada? Berikut petikan wawancara Tim Indonesia International Conference Focus on Indonesia Economy (IICF/E) 2011 dengan Mustafa Abubakar, Menteri BUMN, Kamis (515), di ruang kerjanya, gedung Kementerian BUMN, Jakarta. Berikut cupkilannya.
Keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah (APBN), memaksa BUMN dan swasta mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan nasional. Kebijakan dan langkah apa yang telah, sedang, dan akan Anda ambil?
BUMN memang punya potensi yang sangat besar dalam mendukung pembangunan. Lihat saja realisasi belanja modal BUMN tahun 2010, yakni Rpl96,9 triliun. Jumlah ini dua kali lipat dati belanja modal pemerintah pada APBN 2010 yang Rp95 triliun. Kalau soal kontribusi BUMN terhadap pembangunan, BUMN antara lain sudah menyatakan komitmen untuk berinvestasi sebesar Rp836 triliun sampai 2014. Ini merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011- 2014, dengan total kebutuhan investasi Rp 3.350 triliun.
Dengan alokasi belanja modal Rp 836 triliun, apa saja yang bisa dilakukan BUMN?
Begini. Dana sebesar itu dialokasikan untuk 475 proyek pada enam koridor ekonomi. Dari sini diharapkan bisa menyerap sebanyak 6,6 juta tenaga kerja.
Selama ini, banyak rencana dan komitmen yang tidak terealisasi. Akankah kali ini juga akan serupa?
Tentu saja kami tidak ingin demikian. Kementerian BUMN telah membentuk tim khusus untuk memantau pelaksanaan komitmen. Di samping itu, Kementerian BUMN juga tengah meningkatkan koordinasi dengan kementerian lembaga, pemerintah provinsi, serta pihak swasta dan asing di setiap koridor. Ini semua sebagai tindak lanjut dari Retreat Bogor 21-22 Februari 2011. Koordinasi di setiap koridor dilakukan melalui kunjungan langsung ke provinsi terkait.
Bagaimana realisasinya?
Kami sudah menjabarkannya dalam beberapa program yang konkret. Kami menyebutnya 26 kegiatan proyek besar dan dipresentasikan kepada Presiden. Proyek besar? Ada nilai minimalnya?
Proyek besar yang dimaksud adalah yang bernilai di atas Rp 1 triliun. Yang paling penting lagi, proyek-proyek ini sudah konkret dan fokus. Anda bisa lihat ini. Datanya lengkap. Mulai dari lokasi proyek, total biaya proyek, daya serap tenaga kerja, bahkan ground breaking sampai dengan kapan selesai langsung di depan Presiden.
Bagaimana respons Presiden?
Alhamdulillah, ketika itu Presiden senang sekali. Proyek integrated steel, misalnya, antara Krakatau Steel Posco yang berlokasi di Cilegon, tahap pertama nilainya Rp26,6 triliun, tahap kedua Rp 24 triliun. Pelaksanaannya mulai 2011 sampai 2014 dengan kemampuan menyerap 88.000 tenaga kerja. Itulah sebabnya kami memproyeksikan, dari dana yang Rp 836 triliun tadi, kita bisa menyerap tambahan tenaga kerja 6,6 juta orang dalam rentang waktu 2011 sampai 2014.
Bagaimana kinerja BUMN? Tahun 2010 katanya berhasil mencetak laba lebih dari Rp 100 triliun?
Ya, keuntungan BUMN kita tahun ini lebih dari Rp 100 triliun. Dari sini, dividen yang disetor ke negara sekitar Rp 30 triliun. Sebetulnya target dividen kita tahun 2010 sebesar Rp 27,5 triliun. Karena sebelumnya sudah ada interim Rp3,7 triliun, maka totalnya lebih dari Rp30 triliun. Ke depan, walaupun keuntungan nanti akan meningkat, kami berharap dividen yang disetor tidak sampai Rp30 triliun.
Dividen dari BUMN menjadi salah satu sumber pembiayaan di APBN dalam lima tahun terakhir (2007-2011), seberapa besar kontribusi dividen tersebut dalam APBN?
Dividen BUMN merupakan salah satu sumber pembiayaan pada APBN yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selama lima tahun terakhir kontribusinya selalu positif. Namun, ke depan, penerimaan dividen dari BUMN secara bertahap akan disesuaikan guna menopang pengembangan/ekspansi BUMN. Kontribusi penerimaan dividen untuk tahun buku 2006 Rp23,22 triliun, naik menjadi Rp29,1 triliun pada 2007. Selanjutnya sampai 2010 berturut-turut menjadi Rp 26,05 triliun, Rp 30,1 triliun, dan Rp 27,59 triliun.
Belakangan, para pengelola BUMN minta agar setoran dividen ke negara dikurangi, bahkan dihilangkan. Alasannya, mereka perlu memperkuat struktur permodalan dan ekspansi. Bagaimana sebenarnya?
Kami telah mempertimbangkan pengembangan bisnis BUMN dalam kebijakan dividen. Ke depan, tren dividen cenderung disesuaikan dengan ekspansi bisnis. Contohnya perbankan, yang membutuhkan modal besar untuk ekspansi kredit. Untuk meningkatkan penerimaan negara, Kementerian BUMN tidak lagi berorientasi pada dividen, tetapi pada penerimaan pajak BUMN dan kontribusi lain yang memberikan kontribusi lebih besar ke APBN. Alasannya, dengan makin rendahnya dividen, BUMN punya ruang yang lebih luas untuk mengembangkan usahanya. Dengan dukungan pengawasan dan GCG (good corporate governance) yang baik, laba usaha akan naik. Ujung-ujungnya, pajak dan kontribusi BUMN pada pembangunan nasional, antara lain peningkatan lapangan kerja, PKBL, kualitas PSO, dan lainnya juga ikut meningkat. Ini serius. Buktinya, penerimaan dividen tahun buku 2011 ini lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Begitu pula dengan 2012 yang “Cuma” Rp25,86 triliun.
Ada contoh setoran dividen yang berkurang karena untuk pengembangan bisnis BUMN?
Ada. Misalnya Bank BRI. Dulu BRI wajib menyetor dividen sekitar 30%-40%, tetapi sekarang dividennya hanya 20%.
Bagaimana dengan Bank Mandiri dan Bank BNI?
Mungkin dari Mandiri dan BNI dividennya masih cukup besar, sekitar 30%. Alasannya karena mereka sudah punya dana segar cukup banyak. Mereka baru saja melakukan rights issue. Mandiri mendapat dana dari pasar sebesar Rp 12 triliun, sedangkan BNI Rp 10,4 triliun.
Dengan aset BUMN yang mencapai sekitar Rp2.000 triliun, capital expenditure (capex) BUMN hanya sekitar Rp 300 triliun. Padahal, kalau BUMN benar-benar serius, mereka bisa menganggarkan sampai Rp 1.000 triliun?
Penggunaan belanja modal BUMN sekarang ini diarahkan untuk rnendukung MP3EI tahun 2011-2014. Kami sudah memberi komitmen unruk meningkatkan anggaran belanja modal BUMN pada tahun 2011-2014, dari semula Rp 383 triliun menjadi Rp 836 triliun.
Adakah fokus pengalokasian capex sebesar itu?
Tentu ada. Kami tetapkan fokus utama pada empat hal. Pertama, pembangunan infrastruktur dan konektivitas. Kedua, pengembangan industri sesuai dengan keunggulan masing-masing koridor ekonomi. Ketiga, penguatan ketahanan pangan dan energi. Keempat, pelaksanaan proyek-proyek BUMN yang mampu memberikan efek ganda bagi penyerapan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung.
Ada yang mengatakan, capex BUMN sebenarnya bisa digenjot sampai Rp 1.000 triliun. Menurut Anda?
Anggaran belanja modal sampai Rp 1.000 triliun dapat saja dilakukan, terutama jika dalam evaluasi pelaksanaan komitmen Kementerian BUMN dan BUMN dalam implementasi MP3EI nanti disimpulkan adanya kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur penunjang. Misalnya, untuk akses jalan baru ke lokasi proyek.
Selain capex, ada alokasi lainnya?
Ada, yaitu belanja rutin. Operational expenditure atau opex yang per tahun sekitar Rp 1.000 triliun ini juga berdampak besar mendorong pertumbuhan ekonomi. Jadi, jika capex dan opex BUMN digabung, jumlahnya sekitar Rp 1.250 triliun per tahun, atau setara dengan APBN. Tentu saja ini bisa menciptakan multiplier effect yang sangat besar bagi perturnbuhan ekonomi nasional.
Salah satu kelemahan investasi di Indonesia adalah buruknya infrastruktur. Lagi-Iagi karena terbatasnya APBN, BUMN diminta mengambil peran lebih aktif. Adakah upaya khusus Kementerian BUMN untuk memacu hal ini?
Saya setuju perbaikan dan peningkatan kualitas infrasrruktur menjadi prioritas utama. Sejalan dengan MP3EI, infrastruktur yang kini kami prioritaskan khususnya yang terkait interkonektivitas dan energi/pembangkit listrik. Kami mendorong percepatan penyelesaian program-program investasi interkonektivitas di bidang infrastruktur yang dimotori BUMN. Antara lain, jalan tol Trans Jawa. Pelabuhan Teluk Lamong, Pelabuhm ‘Baru Ampar, serta pengembangan Bandara Ngurah Rai dan Bandara Soekarno-Harta. Kami mendorong percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW dalam dua tahap.
Bagaimana dengan pelabuhan?
Pelabuhan juga kami perhatikan dengan sungguh-sungguh. Misalnya, kebijakan untuk standarisasi investasi peralatan, fasilitas, dan sarana di BUMN Pelabuhan (Pelindo I, II, III, dan IV) sesuai dengan jenis dan kelas masing-masing pelabuhan, sesuai dengan keburuhan pelanggan yang ada di wilayah kerja BUMN. Semua itu dimaksudkan untuk mendorong produktivitas dan menciptakan konektivitas.
Banyak kalangan menilai kinerja dan kontribusi sejumlah BUMN penyedia infrastruktur (PLN, Jasa Marga, Telkom, PGN, dll.) masih kurang optimal. Adakah upaya khusus dari Kementerian BUMN untuk meningkatkan kinerja dan kontribusi mereka?
Memang tidak mudah menjawab tantangan kebutuhan infrastruktur guna menopang perturnbuhan ekonomi 6%-7% per tahun. Beberapa BUMN besar penyedia infrastrukrur lainnya juga telah terlibat dalam MP3El. Misalnya PLN, tengah menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik barn sebesar 10.000 MW tahap I dan segera memasuki pembangunan tahap II. Beberapa yang lain yang masih baru, PLTU Jawa Tengah (2 x 1.000 MW) untuk menyuplai 10% kebutuhan listrik Jawa- Bali, pembangunan PLTU Banjarsari kerja sarna dengan PTBA (2 x 100 MW) untuk menambah pasokan kebutuhan listrik di Sumatera Selatan, dan pembangunan dua PLTA Wamena untuk menyuplai kebutuhan listrik di sembilan kabupaten sekitar PLTA.
Prasarana lainnya bagaimana?
Telkom, mendukung konektivitas melalui pembangunan sistem kornunikasi kabel laut dan sistem komunikasi serat optik: Jawa-Kalimantan dan Kalimantan-Sulawesi-Denpasar-Mataram, Ring Aceh, Ring Marararn-Kupang, Papua-Maluku, serta jaringan backbone di Sulawesi. PGN, pernbangunan terminal penerimaan LNG di Sumatera Utara dan Jawa Barat untuk memenuhi pasokan gas pembangkit listrik dan industri. Begitu juga dengan PT KAI, pembangunan double track Jawa bagian utara, untuk meningkatkan kapasitas perjalanan dari 56 perjalanan per hari menjadi 124 perjalanan per hari. Termasuk pembangunan jalur KA Bandara Soekarno-Hatta.
Tingginya bunga bank membuat bisnis pelaku usaha kita kurang kompetitif. Pemerintah punya sejumlah bank BUMN berskala besar (Mandiri, BNI, BRI, BTN). Tidakkah mereka bisa memelopori bunga kredit murah, paling tidak untuk UMKM ?
Begini. Suku bunga korporasi bank-bank BUMN diarahkan pada sektor riil. Saya percaya suku bunga rendah, satu digit di antara 7%-9%, akan mendorong pertumbuhan sektor riil. Meski demikian, penentuan suku bunga kredit itu merupakan kewenangan masing-masing bank. Apalagi saat ini semua bank BUMN telah berstatus perusahaan terbuka. Faktor-faktor yang memengaruhi penentuan suku bunga kredit adalah cost of fond, overhead cost, spread (NIM), dan risk foetor. Makin efisien sebuah bank dan makin kecil faktor risiko kredit, maka bank tersebut dapat menurunkan suku bunga kreditnya.
Pendapat Anda ten tang Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)?
Kementerian BUMN mendukung penuh penerapan ketentuan SBDK atau prime lending rate yang diberlakukan mulai 31 Maret 2011. Ini penting, guna meningkatkan transparansi karakteristik produk perbankan, khususnya dari segi manfaat, biaya, dan risiko. Dengan ketentuan ini, diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance dan mendorong persaingan yang sehat industri perbankan. Lewat pengumuman SBDK, calon nasabah bisa memilih bank untuk aplikasi kredit. Pada gilirannya, ini akan mendorong bunga pinjaman yang rendah pula.
BUMN kita jumlahnya cukup banyak. Tidakkah ini merepotkan Kementerian BUMN untuk melakukan pembinaan?
Benar. Jumlahnya kini memang terlalu banyak. Kami merencanakan program rightsizing BUMN dari 142 perusahaan menjadi sekitar 118 saja. Namun, rightsizing tidak otornatis berart perampingan. Bisa juga penggelem bungan atau normalisasi. Namun, khusus dalam terminologi kami sekarang ini, rightsizing berarti menuju pada perampingan. Itulah sebabnya kami lebih suka menyebutnya dengan regrouping.
Bisa diberi contoh?
Misalnya, perkebunan ada PTPN I sampai dengan XIV. Ada 14 perusahaan. Ditambah RNI lagi yang bergerak di bidangyang betul-betul sarna. Mengapa harus 15? Cukup satu saja tetapi perkasa. Di bawahnya baru dibagi by region atau subsidiary saja. Sama halnya dengan kehutanan. Sekarang ada enam Perhutani. Nah, itu kita gabung menjadi satu saja perusahaan di bidang kehutanan. Satu tapi perkasa. Contoh lain, di bidang jasa konstruksi. Ada banyak sekali karya ini karya itu. Nanti kita gabung saja jadi beberapa, kita regrouping lagi. Itulah sebabnya jumlah BUMN tahun demi tahun ini akan menurun. Kalau sudah perkasa, BUMN kita akan mampu bertanding dengan BUMN negara lain. Misalnya, Khazanah Nasional Berhad dari Malaysia atau Temasek dari Singapura.
Regrouping itu boleh atau tidak jika dibuat holding sektoral?
Tidak mesti demikian. Ada juga holding regional. Misalnya, Pelindo. Ada Pelindo I sarnpai dengan IV. Itu kan dibagi berdasarkan regional. Nanti kita bagi menjadi Pelindo I dan II saja. Satu region barat, yang kedua timur. Seperti Angkasa Pura I dan II sekarang. Itu bukan by sector, melainkan by region. Jadi tergantung kondisinya, berdasarkan sebaran geografls atau sebaran geografis dari masing-masing industri.
Adakah roadmap regrouping sampai 2014?
Ada. Pada 2010 BUMN kita berjumlah 142 perusahaan. Tahun berikutnya berkurang menjadi 118 perusahaan. Selanjutnya berturut-turut menjadi 104 perusahaan pada 2012, menjadi 95 perusahaan pada 2013, dan pada 2014 insya Allah tinggal menjadi 81 perusahaan saja.
Bisa diberi contoh hasil regrouping?
Tahun ini perusahaan sektor perkebunan yang sebelurnnya 16, akan dikurangi hingga tinggal 1 saja. Begitu juga kehutanan tadinya ada 6, dikurangi 5 tinggal 1. PT Bukit Asam, Antam, Timah, akan di-holding jadi 1. jadi, nanti tinggal dibuat unit-unit. PLN, Pertamina, dan PGN akan didivestasi. Begitu juga dengan yang lain.
Bukankah seharusnya penciutan jumlah itu sudah selesai pada 2009?
Seharusnya ini memang sudah selesai pada 2009. Bahkan sudah keluar Inpres-nya. Sayangnya, zero implementation. Namun, karni berharap pada 2011 ada 24 BUMN yang akan mengalami pengurangan.
Bagaimana perkembangan rencana pembentukan superholding secara sektoral untuk BUMN?
Sebagai informasi, saat ini ada 26 BUMN yang berkontribusi sekitar 90% dari 142 BUMN yang ada. Kami akui, ini menunjukkan belum semua BUMN berkinerja optimal. Oleh karena itu, untuk menciptakan BUMN yang andal dan mampu menjadi pemain utama (champion) baik di tingkat nasional, regional, maupun global, kami punya program perampingan (rightsizing) BUMN. Langkah ini untuk memperbaiki strukrur bisnis BUMN secara menyeluruh. Caranya, melalui restrukturisasi atau penataan kembali BUMN dengan cara pemetaan secara lebih tajam. Aplikasinya dilakukan melalui regrouping/ konsolidasi, untuk mencapai jumlah dan skala usaha BUMN yang lebih ideal.
Apa dasar program perampingan ini?
Ada beberapa dasar pertimbangan rightsizing BUMN. Di antaranya, berdasarkan pertimbangan urgensi kepemilikan mayoritas negara pada suatu BUMN, profil sektoral, kinerja, penciptaan nilai, dan porensi.sinergi antar- BUMN tanpa mengabaikan asas-asas yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945. Program ini akan dilakukan berdasarkan kajian dengan tetap memerhatikan asas biaya dan manfaat.
Bagaimana hasil kajian itu?
Beberapa opsi program rightsizing BUMN yang diterapkan adalah: stand alone, pembentukan holding, dan merger konsolidasi. Khusus opsi terakhir, merger konsolidasi, bentuknya bisa berupa penggabungan, peleburan, akuisisi, atau pengalihan suatu BUMN ke BUMN lainnya. Selain itu, juga ada opsi divestasi dan likuidasi bagi BUMN yang sudah ridak mungkin dipertahankan dan tidak memiliki prospek.
Hasil seperti apa yang diharapkan dari program ini?
Melalui penerapan program rightsizing BUMN tersebut, diharapkan kelak negara akan memiliki BUMN dalam jumlah dan skala usaha yang ideal. Pada 2014, dengan asumsi implementasi program rightsizing BUMN berjalan sesuai dengan harapan, maka jumlah BUMN akan menjadi 81 perusahaan.
Kalau tidak salah, dalam Master Plan BUMN 2010-2014 kelak jumlah BUMN pada 2014 menjadi 78 perusahaan?
Betul. Jumlahnya bertambah karena ada penambahan BUMN pada 2011, yaitu PT Bahana PUI. Institusi ini sebelumnya perusahaan minoritas, terapi kemudian berubah menjadi BUMN. Selain iru, perubahan rencana untuk dua BUMN Kebandarudaraan yang semula rencana holding menjadi tetap dua BUMN, dan PT Garam yang semula reneana divestasi menjadi tetap stand alone.
Adakah kendala dalam implementasi perampingan BUMN? Bagaimana solusinya?
Proses implernentasi memang tidak semata-mata menjadi domain Kementerian BUMN. Ia melibatkan sejumlah instansi lain. Selain itu, juga harus sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian BUMN sendiri relah melakukan kajian beberapa rencana rightsizing BUMN. Hasil kajiannya telah disampaikan kepada instansi/lembaga terkait untuk proses selanjutnya. Saat ini masih dalam proses. Diharapkan, pada 2011 ini beberapa rencana rightsizing BUMN akan dapat diwujudkan.
Kita mengenal beberapa bentuk holding. Mana yang paling cocok untuk kita?
Ya, memang ada sejumlah bentuk yang kita kenal. Antara lain, Investment / Financial Holding, Operating Holding, dan Strategic Holding. Memerhatikan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bentuk holding yang akan diterapkan dapat berupa ketiga bentuk itu tadi. Semuanya tergantung pada hasil kajian dan yang sesuai dengan sektor BUMN tersebut.
Bisa diberikan contoh?
Contohnya, saat ini PT Semen Gresik (Persero) Tbk. masih berbentuk Operating Holding. Sebaliknya, BUMN Pupuk yang dulunya juga berbentuk Operating Holding, yaitu PT Pupuk Sriwijaya (Persero) relah diubah menjadi Strategic Holding. Di sini unit produksi dari PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dipisahkan menjadi entitas bisnis baru, yaitu menjadi PT PUPI Sriwijaya Palembang.
Nama Media : MAJALAH WARTA EKONOMI
Tanggal : Edisi 21-30 Mei 2011 hal 12
TONE : NETRAL