KONSEP sosial enterprise, sebuah usaha yang aktif melibatkan komunitas untuk mencari keuntungan bersama, dinilai sangat potensial menjadi solusi bagi persoalan petani di Indonesia.
“Permasalahan penduduk desa selama ini adalah memiliki potensi besar dalam komoditas pertanian, namun tidak bisa mengoptimalkannya sehingga memerlukan sebuah konsep untuk solusi. Saya kira konsep sosial enterprise ini bisa jadi solusi,” kata pencetus sosial enterprise AgriSocio, Alfi Irfan di Jakarta, Senin kemarin.
Ia mencontohkan, petani selama ini umumnya kurang memiliki akses terhadap teknologi, kelembagaan, pasar, dan hubungan eksternal.
Alfi mengatakan, konsep sosial enterprise memang masih sangat jarang dikembangkan di Indonesia bahkan belum banyak yang mengenalnya secara lebih mendalam.
“Jika LSM bersifat non-profit dan Private Company bersifat profit. Maka Social Enterprise adalah penganut dari kedua bidang ini, bisnis ini biasa juga disebut ‘business for social progress’,” katanya.
Menurut dia, hal itu berbeda dengan program Corporate Social Responsibilities (CSR) dimana perusahaan wajib berkontribusi terhadap lingkungan sekitar.
“Social Enterprise atau SE bergerak bersama masyarakat untuk mencari keuntungan tersebut. Ciri khas dari SE antara lain adalah adanya sistem profit sharing dalam bisnis,” katanya.
Ia mengatakan, dirinya membentuk AgriSocio sebagai bagian dari Social Enterprise yang berfokus pada bidang pertanian dan sektor terkait.
Alfi yang sukses meraih predikat wirausaha muda terbaik tingkat dunia di Singapura akhir tahun lalu itu saat ini sudah melibatkan istri-istri petani di Desa Benteng, Bogor, untuk mengolah minuman berbahan dasar rempah-rempah melalui wadah AgriSocio yang berkonsep SE.
“Kita melihat kalangan terdidik di Indonesia yang proporsinya sangat kecil dalam hal jumlah juga memiliki potensi untuk membantu percepatan penyelesaian masalah ini,” katanya.
Oleh karena itu, AgriSocio dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan petani dengan mengajak “educated community to contribute to the villages by local branding concept”.
“Komunitas AgriSocio memiliki peranan untuk membuat sistem pertanian terpadu di desa tersebut dan pemunculan konsep branding product di desa tersebut,” katanya.
Agroforestry
Sementara itu, upaya pemberdayaan petani juga dilakukan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan mengembangkan agroforestri, dimana dengan mengajak petani menanam padi gogo di lahan hutan jati.
“Hal itu dimaksudkan untuk mendorong kesejahteraan para petani dalam pengelolaan hutan produksi,” kata peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Budiadi, di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, budi daya padi gogo di lahan hutan jati tersebut selain hasil panen yang lebih bernilai, masyarakat juga diuntungkan dengan menyimpan hasil panen untuk konsumsi sendiri.
“Budi daya padi gogo itu merupakan program kerja sama Fakultas Kehutanan UGM dengan Perum Perhutani KPH Ngawi. Di area hutan jati itu Fakultas Kehutanan UGM akan mengembangkan sepuluh varietas padi,” katanya.
Namun, kata dia, saat ini baru tiga varietas unggulan yang sudah dikembangkan lebih lanjut, yakni varietas Situpatenggang, Inpago 4, dan Inpari. Ketiga varietas itu yang paling bisa beradaptasi.
Ia mengatakan Fakultas Kehutanan UGM saat ini sedang berusaha mengembangkan pengelolaan lahan hutan jati pada area hutan jati yang lebih luas.
“Sambutan para petani lahan hutan sangat baik terhadap program agroforestri tersebut karena dari target tanam hanya empat hektare, saat ini telah mencapai 12 hektare. Rata-rata setiap hektare diolah empat orang, jumlah total petani sebanyak 48 orang,” katanya.
Staf Fakultas Kehutanan UGM, Wongsorejo, mengatakan, panen padi gogo di lahan hutan jati saat ini cukup baik.
Variaetas Inpari menghasilkan delapan ton per hektare, varietas Inpago 4 sebanyak 7,2 ton per hektare, dan Situpatenggang tujuh ton per hektare.
“Tanaman lain seperti kedelai, jagung, dan wijen masih dibudidayakan oleh petani dengan cara sistem tumpang sari,” kata fasilitator petani itu.
Upaya agroforesti sebelumnya sudah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, pada akhir tahun lalu dengan membangun kawasan “Agroforestry Park” di sekitar Grand Elty Kalianda Resort Kalianda, untuk menambah daya tarik wisatawan mengunjungi daerah setempat.
“Konsep ini merupakan tanaman kombinasi pertanian kehutanan dan peternakan tapi kaitannya dengan edukasi lingkungan,” kata Sekretaris Daerah Lampung Selatan, Sutono.
Agroforestry lanjut dia, merupakan gabungan dari ilmu kehutanan dan agronomi yang memadukan usaha kehutanan dengan usaha tanaman produksi, untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan.
Agroforestry Park yang akan dibangun bertujuan untuk menciptakan suatu sistem perpaduan antara budidaya pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan yang bisa disatukan dengan kegiatan pariwisata.
Beberapa waktu lalu, Wahyudi Wardoyo, mantan Kepala Badan Litbang Kementerian Kehutanan, mengatakan, agroforestri telah menyumbang dalam perubahan kebijakan pengelolaan hutan dalam 20 tahun terakhir ini.
Menurutnya, di Asia Tenggara program tersebut dikenal dengan Strategi Pengembangan Rendah Emisi berbasis Perencanaan Penggunaan Lahan (LUWES), yang memadukan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi gas rumah kaca. Strategi ini bahkan telah menjadi agenda kerja dari Bapenas untuk diimplementasikan di tingkat strategi yang lebih detil untuk kabupaten dan propinsi.
Yanuar Jatnika/Ant
Sumber  :  Jurnal Nasional, Hal. 25
Tanggal  :  12 Maret 2014