“Suwe ora jamu, jamu godong telo, suwe ora ketemu, ketemu pisan ojo gelo..” (red:lama tak minum obat, minum obat daun ketela, lama tidak jumpa, jumpa sekali jangan kecewa). Lagu Jowo tersebut sayup-sayup terdengar dari dalam hutan jati di Randublatung, Jawa Tengah. Terlihat beberapa laki-laki dengan sigap memanen kunyit, temulawak, dan kunci pepet dari lahan kawasan hutan. Empon-empon itu mereka tanam di bawah tegakkan pohon jati tua. Dengan areal panen yang cukup luas, saya yakin bahwa panenan tersebut bukan untuk dikonsumsi sendiri sebagai bumbu masak, tetapi dapat dipastikan bagian dari usaha kelompok yang sangat menjanjikan.
Benar saja, tumpukan kunyit dan temulawak itu sudah dipesan Sulastri. Siapa sih, Sulastri? Ia adalah perempuan di daerah Randublatung yang gigih berbisnis empon-empon. Ketika Perhutani memberikan akses untuk menanam lahan hutan di bawah tegakkan, empon-empon adalah salah satu pilihan masyarakat desa hutan. Dan, Sulastri termasuk salah satu warga desa yang cukup jeli membaca peluang pasar empon-empon ini.
Lebih dari dua puluh tahun Sulastri menekuni usaha bahan baku jamu-jamuan ini. Modal awalnya diperoleh dari tahun 1993 melalui dana Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi dari Perhutani Randublatung, sebuah mekanisme cikal bakal PKBL. Pinjaman berbunga rendah itu mampu membantu usaha Sulastri tetap langgeng sampai sekarang. Ia mengakui bahwa bukan besar kecilnya nilai pinjamanyang membuat sebuah usaha sukses atau tidak sukses, tetapi nilai pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan usaha dan kepedulian lembaga yang membantunya.
Sulastri selain sebagai pedagang pengumpul empon-empon, mulai melakukan upaya disverivikasi berupa pembuatan bahan dasar jamu-jamuan. Ia dibantu Perhutani untuk ikut serta pelatihan manajemen usaha, pengenalan tanaman obat-obatan dan pengolahan pasca panen.
Menurut Sulastri, usaha tanaman obat-obatan perlu pengetahuan cukup, paham bahan tanaman apa yang dibutuhkan para agen tanaman jamu-jamuan dan tentu saja kualitas harus terjaga. Sebagai pemasok, klasifikasi tanaman obat yang masuk standar kebutuhan pabrikan jamu kualitas maupun kuantitas harus selalu sama.
Berkat kerja keras, bahan baku jamunya merambah beberapa kota di Jawa tengah, terutama untuk bahan baku jamu rebusan. Beberapa pabrik jamu di Jawa Tengah memesan produknya.
Dirumahnya yang penuh tumpukan empon-empon, ia melakukan sortasi dengan hati-hati sekali. Empon-empon yang banyak dipesan saat ini adalah temulawak, jahe, kunyit, kunci pepet, serta serutan kayu secang.
Untuk melakukan proses pengolahan sederhana tersebut, ia dibantu lebih jauh dari sepuluh orang pekerja, belum termasuk para petani empon-empon yang banyak tersebar di desa hutan Randublatung. Ketika ditanya mengenai pendapatan yang diperoleh, Sulastri tidak bersedia menjawab langsung, tetapi bisik-bisiknya tidak kurang dari Rp 30 juta per bulan bisa dia kantongi.
Mendapat kepercayaan dari agen pabrik jamu di beberapa kota besar di Jawa Tengah, Sulastri tentu saja ingin sumber-sumber lokasi tanaman bahan baku jamunya tetap terjaga dan lestari. Ia bersama keluarga dan warga desa mampu hidup sejahtera karena keberadaan sumberdaya hutan jati Perhutani. Hutan tidak saja memberikan manfaat memenuhi kebutuhan pangan, air, kayu bakar dan bahan ternak.
Bagi Sulastri, empon-empon dan hutan jati adalah kehidupan sejati yang tak terpisahkan lagi.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 19, Th. II, April 2014