Ada dua tiket yang harus dibayar saat berkunjung ke Tangkuban Parahu di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Yang pertama nilainya Rp11 ribu dan yang kedua Rp2.000. Nominalnya berbeda, begitu juga pemungutnya. Dua karcis yang berbeda itu menguak adanya ketidakwajaran di kawasan wisata tersebut.
Kabar yang mewarnai wilayah ini dalam setahun terakhir tidak jauh dari soal perebutan kuasa. Dua pihak yang berseteru yakni PT Graha Rani Putra Persada, yang dikeroyok Pemerintah Provinsi Jawa Barat, aktivis lingkungan, seniman, dan Perum Perhutani. Sang investor jelas bukan pemain sembarangan. Ia kuat karena memegang surat izin pengusahaan pariwisata alam yang dikeluarkan Menteri Kehutanan era 2004-2009, Malem Sambat Kaban.
Lewat SK No 306/MenhutII/2009 tertanggal 29 Mei 2009, Kaban memberikan izin pengusahaan kepada PT Graha Rani. Perusahaan yang dibosi seorang pengacara, Putra Kaban, ini berhak memanfaatkan 10% dari total kawasan seluas 250,7 hektare untuk aktivitas bisnis pariwisata. Hak pengelolaan diberikan selama maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang. Izin itu berarti juga menendang Perum Perhutani yang mendapat kuasa pengelolaan sejak Mei 2007.
Surat yang sama juga menohok Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, yang baru mendapat limpahan selama tiga bulan. Padahal, balai besar ini adalah perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Soal kebijakannya itu, MS Kaban punya alasan. Yang pertama, pengelolaan Tangkuban Parahu selama ini kurang optimal. Terbukti, kawasan ini menjadi salah satu objek wisata alam yang kumuh.
Selama belasan tahun pula, kawasan bekas Gunung Sunda-cikal bakal Tangkuban Parahu-ini tidak banyak menyumbang dana ke kas negara karena bocornya uang tiket yang masuk. “Kehadiran swasta membantu pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan pendapatan negara bukan pajak. Selain itu, kalau pengelolaannya bagus, otomatis akan memberikan multiplier effect kepada masyarakat yang ada di Tangkuban Parahu,” tutur MS Kaban, saat itu.
Keputusan menteri bukan sabda. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menolak. Menteri Kehutanan dinilai telah mengabaikan aspirasi masyarakat. “Menhut telah melangkahi kewenangan daerah. Itulah salah satu alasan kami menolak kehadiran pengembang,” kata Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf.
Aturan dilanggar Pemprov punya dalil. Pertama, sebelum izin diterbitkan, seharusnya ada rekomendasi teknis dari gubernur. Itu sesuai dengan PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata alam.
Aturan kedua ada pada Keputusan Menhut No 446/ Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian, dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam. Pasal dalam aturan itu mengharuskan permohonan izin dilengkapi rekomendasi gubernur.
Di samping kedua aturan itu, masih ada PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Jawa Barat juga punya Perda Kawasan Bandung Utara, yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menolak pemanfaatan kawasan Bandung Utara, di dalamnya termasuk Tangkuban Parahu.
Aturan di atas kertas tidak membuat Kaban goyah. Ia terus mendukung Graha Rani dan memastikan tidak ada pelanggaran yang terjadi.
Surat sakti MS Kaban juga menuai gelombang protes kelompok masyarakat Sunda dan pegiat lingkungan, selama 2009-2010. Aliansi Masyarakat Peduli Tangkuban Parahu, gabungan lebih dari 20 elemen organisasi kemasyarakatan, menolak kehadiran pengembang.
“Kami khawatir kehadiran pengembang akan merusak kawasan. Padahal Tangkuban Parahu adalah ikon budaya dan kelestarian alam Jawa Barat,” kata koordinator aliansi, Dadang Hermawan.
Alasan yang sama juga membuat pakar hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat berani bertindak tegas. “Itu aspirasi warga. Aneh kalau pemprov tidak berani bertindak tegas.”
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyambut tantangan itu. Ia memerintahkan Satpol PP naik ke gunung dan menyegel kegiatan Graha Rani. Namun, penyegelan hanya berlangsung seumur jagung. Pengembang tetap nekat memungut tiket.
Saat Kaban turun pada 2009, dan Zulkifli Hasan tampil sebagai menteri kehutanan, warga Jawa Barat seperti punya harapan besar. Wakil Gubernur dalam sejumlah pertemuan dengan Zulkifli selalu menyelipkan permohonan pencabutan PT Graha Rani.
Oktober 2010, Zulkifli mengeluarkan keputusan. Isinya mencabut hak pengembang memungut tiket. Hak itu dikembalikan ke BKSDA Jawa Barat. Dalam pengelolaan juga, Menteri mengatur 79,30 hektare hutan lindung dikeluarkan dari hak kelola perusahaan.
Aturan di atas kertas, lagi-lagi tak diindahkan pengembang. Tiket tetap ditarik, begitu juga dengan pengelolaan. PT Graha Rani belum mau hengkang. Asep Warlan kembali menantang Gubernur Jawa Barat berani bertindak tegas. “Dari aspek hukum, keyakinan pemprov sudah tepat. Gubernur harus mengambil tindakan tegas dengan menghentikan aktivitas pengembang sampai ada kejelasan hukum,” tandasnya.
Sementara itu, Dadang Hermawan menuding surat menteri hanya sebatas meredakan gejolak sosial dan politik. “Menhut sengaja menciptakan status quo. Ia tahu pengembang tetap memungut tiket, tapi dibiarkan selama tidak ada gejolak sosial.”
Nama Media : MEDIA INDONESIA
Tanggal : Rabu, 16 Februari 2011/h. 22
Penulis : Priyasma