BRIN.CO.ID (19/06/2023) | Ketahanan pangan (food security) menjadi isu global dan nasional yang perlu diwujudkan oleh setiap bangsa. Jumlah penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan pangan dalam jumlah yang juga terus meningkat dan kualitas nutrisi yang baik. Sesungguhnya lahan hutan mempunyai potensi besar untuk menyediakan bahan pangan, baik bahan pangan utama maupun bahan pangan alternatif (pendukung).

Salah satu skema yang dapat diaplikasikan dalam optimalisasi pemanfaatan lahan hutan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan adalah praktik agroforestri. Agroforestri jati (Tectona grandis) dengan garut (Maranta arundinacea), mempunyai prospek baik untuk dikembangkan. Penelitian optimalisasi pemanfaatan lahan hutan melalui pola agroforestri jati dengan garut sebagai tanaman pangan beserta turunannya pun belum banyak dilakukan, sehingga model optimalisasi tersebut perlu diuji tingkat produktivitasnya, kemampuannya dalam memproduksi metabolit sekunder, dan kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan petani.

Selaras dengan itu, melalui Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Organisasi Hayati dan Lingkungan (ORHL), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menandatangani kerja sama dengan mitra industrinya, Perusahaan Umum (Perum) Perhutani KPH Bogor tentang “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan dengan Pola Agroforestri Jati – Garut untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)”. Penandatangan berlangsung di Kantor Perum Perhutani KPH Bogor, Jl. KSR Dadi Kusmayadi, Kompleks Perkantoran Pemda Kabupaten Bogor, Cibinong, pada Jumat (16/6).

Kepala PREE, Anang Setiawan Achmadi mengatakan bahwa umbi garut levelnya bukan hanya menanam, tetapi bagaimana menjadi primadona dan ternyata secara industri sudah banyak namun memang terkait dengan produksi tanaman belum dikelola secara professional dan masih belum banyak dikenal oleh masyarakat. “Periset PREE BRIN ingin mengangkatnya, salah satu strateginya adalah untuk menandatangani kesepakatan bersama, harapannya bisa mendukung output dan secara target tetap meningkat. Mudah-mudahan dengan kerjasama yang kita sepakati bersama ini,” tuturnya.

“Kita skala uji coba dalam demplot, semua akan diukur data-datanya dengan basis riset yang memperkuat. Itu yang paling utama. Sedangkan yang kedua, kandungan metabolit sekunder/senyawa aktif penting karena umbi garut adalah salah satu pangan fungsional yang layak dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan dalam prioritas riset nasional,” ungkap Anang.

Anang berharap uji coba di lokasi baik bisa meningkatkan dari segi produksi. Selain itu penelitian dari hulu ke hilir memberi banyak manfaat untuk masyarakat luas dan bukan hanya untuk perum perhutani, tetapi bisa kita gandeng lagi mitra yang produksi. “Ini merupakan strategi untuk kemandirian peneliti BRIN dan mengembangkan hasil-hasil riset yang terukur dan komprehensif,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Perum Perhutani Ade Sugiharto mengungkapkan, kerjasama ini yang pertama dengan BRIN, harapannya secara pengembangan umbi garut bukan hanya sebatas penelitian melainkan bisa menghasilkan juga.

“Kerja sama selama dua tahun ke depan menjadi sesuatu yang sangat menjanjikan untuk peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan untuk KPH Bogor, umumnya Perum Perhutani. Kita siap bekerjasama apapun dengan konteks PKS. Penelitian umbi garut ke depan bisa menghasilkan. Kerja sama tidak hanya berhenti dua tahun PKS namun terus berlanjut dan hasilnya sangat kita nantikan tidak hanya sebatas pada penelitian tapi bisa sampai penjualan produk,” harap Ade.

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN, Dona Octavia mengungkapkan, sambil berjalannya PKS kita bisa mengenalkan kepada masyarakat sumber daya alam pangan fungsional kita yang sangat potensial, namun masih kurang dikenal secara luas.

Dirinya juga menjelaskan, dengan budidaya garut di bawah tegakan dalam praktik agroforestri, dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dan hasilnya bisa untuk mendukung ketahanan pangan dimana umbi garut merupakan pangan fungsional yang memiliki tidak hanya gizi, tetapi memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa antara lain memiliki indeks glikemik yang rendah sehingga baik di konsumsi oleh penderita diabetes. “Umbi garut mengandung asam folat yang tinggi bagus untuk ibu hamil dan balita hingga manula dan yang baru sembuh sakit, baik untuk pencernaan serta mengandung senyawa aktif metabolisme sekunder yang baik untuk kesehatan yang berpotensi sebagai anti oksidan, kemudian yang lebih penting yaitu dapat mencegah stunting sehingga sangat layak dikembangkan di area pedesaan hingga perkotaan,” terang Dona.

“Di desa dapat menanam pohon umbi garut beberapa baris di halaman rumah. Masyarakat umumnya menanam dengan jarak 30-50 cm hasil olahannya mencapai 10 ton per hektar dengan jarak tanam yang luas. Dari riset sebelumnya, produksi umbi mencapai 1,5 kg lebih di area terbuka, jika di bawah naungan 1,3 kg per rumpun. Panen pada usia 6-7 bulan sudah bisa di buat emping garut yang aman untuk penderita asam urat panen, sedangkan untuk konsumsi dengan olahan sederhana dengan direbus/kukus bisa pada umur panen 3-4 bulan,sudah ada umbinya,” rinci Dona.

“Panen untuk target hasil pati bisa dilakukan mulai umur tanaman 9-10 bulan, kandungannya patinya sudah bagus. Jadi tergantung kesuburan lahan, perawatan tanaman, dan kondisi lingkungan lainnya. Jadi, umbi garut sebagai pangan lokal layak dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan, dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya tujuan 1 dan 2 dalam mengentaskan kemiskinan dan kelaparan,” pungkas Dona. (shf/ ed.sl)

Sumber : brin.go.id