finance.detik.com- Sorong -Indonesia memiliki cadangan tanaman sagu 1,4 juta hektar (ha), sedangkan 1,2 juta ha di antaranya berada di Pulau Papua. Cadangan hamparan sagu tersebut bisa diolah menjadi bahan makanan pengganti beras hingga produk energi.
Bila dikelola dan dimanfaatkan dengan benar, cadangan sagu tersebut bisa memasok kebutuhan karbohidrat pengganti beras untuk 80 juta penduduk Indonesia dalam 1 tahun. Potensi itu tentu bisa ditingkatkan kembali.
“Di Papua saja, ada 8 juta ton potensi pohon sagu terbuang percuma tiap tahunnya. Pohon sagu itu mati secara alami karena tidak ditebang. Anda tahu, 8 juta ton pohon sagu yang terbuang itu bisa penuhi kebutuhan karbohidrat untuk 80 juta orang setiap tahunnya,” kata Ahli Sagu Indonesia, Prof. Nadirman Haska di Lokasi Pabrik Sagu Perhutani di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, Kamis ( 31/12/2015).
Potensi cadangan tersebut bisa melompat naik berkali-kali, bila lahan sagu dikelola dengan sistem perkebunan. Dengan pohon sagu yang tumbuh alami, petani atau bisa memanen batang sagu (tual) siap olah mencapai 6-7 ton per tahun. Angka ini bisa menjadi 25 ton tual bila dikelola secara perkebunan.
“Bila dikelola dengan sistem kebun, setelah tahun ke-10 bisa hasilkan 25 ton per tahun,” Tambahnya.
Selain itu, biaya perawatan tanaman sagu terbilang murah bahkan gratis bila dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Pohon sagu saat ini tumbuh secara alami, berbeda dengan kelapa sawit yang harus melalui proses land clearing, pembibitan hingga pemupukan.
Untuk pengolahan, biaya produksi sagu hingga menghasilkan tepung dalam standar internasional senilai US$ 250 per ton dan harga sagu di pasar internasional US$ 550 per ton. Sedangkan kelapa sawit, biaya produksi US$ 350 per ton dan harga di pasar berkisar US$ 600 per ton. Tren harga kelapa sawit terus menurun sejalan lesunya ekonomi dunia.
Dilihat dari nilai ekonomi dan perannya dalam sektor pangan, Indonesia bisa masuk ke industri pengolahan sagu. Apalagi, sagu merupakan tanaman dan makanan asli Indonesia.
“Kita bisa menjadi supplier karbohidrat terbesar di dunia. Hutan sagu dikonversi ke pemenuhan pangan,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia dinilai tak perlu khawatir terhadap defisit pemenuhan beras. Mantan Peneliti BPPT ini, mengaku pasokan beras bakal terus turun karena konversi lahan dan terbatasnya pasokan air untuk mendukung pertanian padi.
“Sawah itu perlu dialiri air. Untuk aliri air ke sawah, perlu berapa hutan yang bisa hasilkan air. Hutan kita bertambah atau berkurang? Sedangkan untuk sagu, kita punya cadangan yang tumbuh alami,” tutur Nadirman.
(feb/hns)
Sumber : finance.detik.com
Tanggal : 31 Desember 2015