Direktur Utama Perusahaan Umum Perhutani Bambang Sukmananto semakin percaya diri menatap prospek penghiliran hasil hutan dan keluar dari jalur konvensional.

Dengan tajuk transformasi bisnis, dia berani menargetkan perseroan tidak lagi mengandalkan dari bisnis kayu dalam 5 tahun ke depan.

Dia meyakinkan masa depan perusahaan hutan tidak terletak pada kayu. Alasannya, menebang kayu hutan alam tidak lagi dapat diandalkan sebagai penghasilan utama, selain juga memiliki konsekuensi sosial dan lingkungan yang serius.

Sepanjang tahun lalu, pendapatan dari bisnis nonkayu masih 39% dari total pendapatan, sementara nonindustri 53%.

“Pada 2019, kami targetkan pendapatan nonkayu mencapai 45%,” ujarnya dalam Forum Marketeers, Selasa (19/8).

Bambang memaparkan target pertumbuhan pendapatan dari industri nonkayu akan diikuti dengan penurunan bagian pendapatan non-industri hingga 40%.

Tidak hanya disampaikan dalam setiap forum, Perhutani memang sedang gencar bertransformasi dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya, perusahaan pengelola hutan di Jawa itu mengalami penaikan pendapatan yang lumayan signifikan sejak 3 tahun ini.

Pada 2011, pendapatan Perhutani hanya sebesar Rp3,11 triliun. Namun, perolehan pendapatan itu kemudian naik Rp750 miliar pada tahun lalu.

Sepanjang tahun ini, Perhutani menargetkan bisa meraup pendapatan Rp4,53 triliun atau melonjak 45,65%.

Bambang paham bisnis perkayuan seperti jati, damar, mahoni, sengon, sonokeling menebangnya gampang tetapi menanam serta merawatnya susah.

“Makanya saat ini Perhutani melangkah ke hilir, salah satunya dengan membangun pabrik pengolahan sengon,” tambahnya.

Selain penghiliran hasil hutan, Perhutani tengah gencar menjalin kerja sama, baik dengan BUMN maupun pemda untuk mengoptimalkan potensi pendapatan dari luas kawasan hutannya yang mencapai 2,4 juta hektare (ha).

Dua di antaranya menjalin kerja sama dengan Medco dan PLN Engineering untuk membangun sumber listrik minihidro dan biomassa.

Nantinya, Bambang memproyeksikan Perhutani semakin ekspansif di beberapa subsektor seperti pertambangan mineral, kopi, karet, porang dan sagu.

Saat ini, terdapat 113 potensi tempat wisata yang berada di dalam lahan kelolaan perseroan.

Selain itu, Bambang juga mengupayakan agar tempat istirahat (rest area) di jalan tol yang ada di kawasan hutan juga menjadi lini bisnis mandiri.

“Yang sudah akan jalan itu [kerja sama] dengan [Pemda] Banyuwangi dan Mojokerto. Karena kalau kawasan wisata tidak segera dikerjakan, nanti ya diambil pihak lain,” tegasnya.

Bambang menjelaskan penerapan teknologi sangat diperlukan guna mengakselerasi produktivitas. Jadi, tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat akan ada produk derivatif lain yang dihasilkan selain gondorukem dan terpentin yang ditangani oleh Perhutani Pine Chemical Industry (PPCI) dan Perhutani Plywood Industry (PPI).

Sejauh ini, pendapatan kayu Perhutani masih didominasi oleh produksi kayu bundar sebesar 82% dan sisanya oleh industri kayu. Untuk usaha nonkayu, gondorukem dan terpenting memiliki andil hingga 89%.

“Untuk itu kami juga mencoba ekspansi pasar ke luar negeri untuk produk derivatif,” lanjutnya. Sayangnya, Bambang menuturkan iklim investasi kehutanan belum sepenuhnya pulih dan membaik. Industri masih harus menempuh sertifikasi ganda jika ingin memasarkan produknya ke luar negeri.

“Sertifikat ada dua, seperti SVLK dan FSC, ya duitnya double tapi untungnya semua produk kita sudah di-approve UE.

Kita sudah dapat sertifikatnya,” ujarnya. Selain persoalan regulasi, Bambang menceritakan kelemahan kendali mutu internal Perhutani yang lemah sehingga terkadang terjadi penurunan kualitas. Di sisi lain, perusahaan yang dipimpinnya itu sering terlibat dalam soal sengketa lahan.

HOLDING BUMN

Soal rencana pengalihan saham Inhutani I-V ke Perhutani pada akhir September 2014, Bambang tetap optimistis perusahaan induk (holding) BUMN kehutanan bisa memacu produktivitas. Dia menjanjikan tidak akan melakukan perombakan besar di internal Inhutani.

“Saat ini, kami sedang intensif untuk diskusi dengan Inhutani, bersinergi untuk jadi holding September nanti. Akan ada sinergi-sinergi jangka pendek dulu,” lanjutnya.

Bambang yakin bisa mengonsolidasi dan mengakomodasi keunikan masing-masing anak usaha Perhutani itu. “Misalnya bisnis hilir, gondorukem bisa ke Inhutani IV. Jadi, bikin pabrik kecil di Medan untuk naruh barang dari Aceh, jadi jangan jual getah. Untuk Inhutani I dan II akan fokus kayu,” terangnya. Sudah semestinya negara menguasai hutan produksi di Indonesia.

Nantinya, holding itu menjadi model pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan lestari bagi publik domestik dan internasional.

“Area hutan produksi kita ini 60 juta ha, masak yang dikelola pemerintah kurang dari 10%. Holding ini supaya bisa juga dilihat oleh masyarakat, ini lho contoh pengelolaan hutan yang benar,” tegasnya. (Arys Aditya)

Sumber : Bisnis Indonesia, Hal. 22
Tanggal : 21 Agustus 2014