KOMPAS.COM, BANDUNG (22/8/2016) | Kondisi Gunung Puntang di Kabupaten Bandung sudah lebih baik ketimbang 10 atau 15 tahunan lalu. Dibanding dulu, gunung tersebut sudah jauh lebih hijau. Para petani kopilah, salah satunya, yang membuat paras gunung ini kembali berseri.Awal bulan Agustus. Musim panen kopi sudah hampir berakhir. Paras Ayi Sutedja (51) terlihat semringah. Ini panen kopinya yang pertama.

Ayi adalah satu dari ratusan petani kopi yang menggantungkan hidupnya di lahan milik Perhutani di kawasan Gunung Puntang, Kabupaten Bandung. Dibandingkan para petani kopi lain di sana, Ayi tergolong masih baru.

“Belum lama. Belum genap lima tahun,” ujarnya di sela kegiatannya menjemur kopi di selternya yang sederhana tapi asri di kaki Gunung Puntang.

Selter yang dikelola Ayi berada di ujung Kampung Kolelega, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Dari Jalan Ciapus di Alun-alun Banjaran bisa ditempuh dalam 20 menit. Ikuti saja jalan tersebut, dan hampir pasti tak akan tersesat.

Seperti selter-selter kopi umumnya yang banyak terdapat di Gunung Puntang, fasilitas selter yang dikelola Kelompok Tani Murbeng, tempat Ayi bergabung, lumayan komplet. Mulai dari tempat untuk mencuci dan menjemur kopi lengkap dengan dua greenhouse berukuran sekitar 3,5 meter kali delapan meter, bangunan utama untuk tinggal, ruang pulping dan ruang roasting, hingga lumbung kecil untuk menyimpan hasil panen.

“Kopi yang kami hasilkan memang belum banyak. Tapi ini hasil yang menggembirakan dan sangat menjanjikan,” ujar Ayi.

Karena masih sedikit inilah, kata Ayi, kopi arabika yang ia dan kelompok taninya tanam baru untuk memenuhi pasar dalam negeri. Dengan makin menjamurnya kafe-kafe yang khusus menyediakan kopi, menurut Ayi, pasar di dalam negeri ini sebenarnya masih sangat luas.

“Yang diperlukan adalah membuka akses pasar untuk para petani agar mereka bisa bertransaksi langsung dengan para pembeli. Inilah yang sebenarnya kami perjuangkan, selain tentunya soal konservasi lahan yang sejak awal menjadi perhatian kami,” kata Ayi, yang sejauh ini baru mengelola lima hektar lahan di Gunung Puntang.

Pola Tanam
Ayi mengatakan, rusaknya kawasan hutan ini dahulu tak lain karena pola tanam keliru yang dilakukan warga secara turun-temurun. Kawasan hutan produksi yang seharusnya ditanami tanaman keras banyak dimanfaatkan sebagai kebun sayuran.

“Pohon kopi juga ada, tapi hanya sebagai pagar kebun sayur,” ujarnya.

Kecenderungan para petani untuk menanam sayuran, bukan tanaman keras seperti kopi, menurut Ayi, bukan tanpa sebab. Sayuran lebih cepat dipanen dan harganya relatif stabil, sedangkan kopi perlu waktu sekitar dua tahun untuk panen perdana, meski masa panennya juga panjang, tiga hingga empat bulan.

“Tapi, penyebab utamanya adalah harganya yang sangat rendah dan dimonopoli para tengkulak. Dulu, harga biji kopi baru petik tak pernah lebih dari Rp 3.000 per kilo. Baru beberapa tahun ini harganya meningkat seiring munculnya kebun-kebun kopi arabika yang dikelola secara organik oleh sejumlah kelompok tani. Sekarang harga biji kopi yang baru dipetik di tingkat petani sudah dalam kisaran Rp 8.500 per kilogram. Ini lumayan,” kata Ayi.

Kopi dari kebun Ayi mendapat nilai tertinggi untuk booth Indonesia dalam uji cita rasa (cupping) yang digelar Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), April 2016. Kopi Ayi mendapat nilai 86,25 dengan nilai lelang 55 dollar AS per kilogram.

“Ini tentu menggembirakan. Tapi, di sisi lain menjadi tantangan untuk konsisten dan bekerja lebih baik lagi,” ujar Ayi, yang juga bergabung dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi), yang bergerak pada pengelolaan kopi ramah lingkungan.

Selama lima tahun terakhir, lebih dari 150 hektar lahan di Gunung Puntang sudah mulai dipenuhi tanaman kopi. Sebagian di antaranya sudah menerapkan sistem organik. (Arief Permadi)

Tanggal : 22 Agustus 2016
Sumber : Kompas.com