Pemerintah telah menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa agar produk hutan yang diekspor sudah memiliki legalitas kayu. Para pengumpul kayu di hutan pun mengikuti mekanisme yang berlaku dengan patuh.
Sutrisno (52) adalah salah seorang pengumpul kayu di hutan rakyat yang terletak di Desa Dadapayam, Suruh, Kabupaten Semarang. Ia bertransaksi dengan petani di hutan tersebut untuk ‘membeli’ pohon yang selanjutnya ditebang.
Hutan rakyat adalah hutan di atas tanah milik rakyat sehingga itu merupakan milik pribadi. Sutrisno sudah bekerja sebagai pengumpul kayu sejak tahun 1999.
Sutrisno memahami bahwa kayu-kayu yang ia tebang harus memiliki dokumen yang jelas. Itu merupakan salah satu tahapan mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diinisiasi oleh pemerintah.
“Kita urus di kelurahan, kecamatan, dan Perhutani. Nanti kita dapat surat keterangan asal usul (SKAU),” ujar Sutrisno, Selasa (21/1/2015).
Surat itu diurus setiap Sutrisno akan menjual kayu tebangannya ke industri. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai sopir ini merogoh kocek sekitar Rp 250.000 setiap mengurus surat legalitas kayunya itu.
“Di sini semua patuh, tidak ada yang berani langgar prosesnya,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh pengumpul kayu lainnya, Sobari (65). Mulai memilih kayu di Desa Dadapayam sejak tahun 1977, Sobari mengungkapkan bahwa saat ini mengurus legalitas kayu makin mudah.
“Makin ke sini makin ringkas. Jadi ya semua mengurus,” ujar Sobari.
Kayu dari hutan rakyat di Desa Dadapayam mayoritas dikirim ke Jepara dan Yogyakarta. Salah satu UKM yang membeli kayu dari Sutrisno adalah CV Max di Yogyakarta. Faktor kayu yang telah berizin serta kualitas menjadi alasan kayu-kayu itu menjadi pilihan.
“Kayu yang dicari itu berumur 30 tahunan, tidak ada yang cacat, dan seratnya bagus. Dulu kita ambil kayu campur dari Perhutani dan kayu kampung. Sejak 2010, 100 persen dari sini,” ungkap pemilik CV Max, Hondi.
CV Max adalah salah satu UKM binaan program SWITCH ASIA. Program dari Uni Eropa ini diimplementasikan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan oleh WWF Indonesia, WWF UK, serta Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) untuk mensosialisasikan tentang legalitas kayu.
Pemerintah dan Uni Eropa telah menandatangani perjanjian Voluntary Partnership Agreement (VPA) pada 30 September 2013 silam untuk menyepakati skema ekspor perusahaan produsen dari Indonesia yang telah bersertifikat SVLK.
Dengan demikian, produk hutan yang diekspor ke Eropa harus memakai kayu legal.
Sumber  : detik.com
Tanggal  : 20 Januari 2015