Bisnis Indonesia, JAKARTA—Pemerintah dinilai harus melakukan terobosan besar dalam penanggulangan banjir Jakarta mengingat kondisi tata ruang dan tata wilayah yang sudah melenceng jauh dari fungsinya.

Pemerhati masalah tata air Universitas Indonesia Firdaus Ali mengatakan saat ini daerah resapan air sudah sangat minim, melihat ruang hijau terbuka Jakarta yang hanya berkisar 9,8%, jauh dari batas normal yakni 30%.

Selain itu, laju penurunan muka tanah kian melesat, jaringan drainase ibu kota sudah tak mampu menampung air yang datang, dan juga kondisi hulu sungai yang sudah jauh dari perannya.

“Ketika banjir besar melanda Jakarta, air yang masuk mencapai 4,9 miliar meter kubik dari 13 DAS [daerah aliran sungai] yang ada di Ibu Kota selama musim penghujan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (28/1).

Namun, 41 waduk yang ada di Jakarta dengan luas 900 hektare hanya mampu menampung 10 juta meter kubik per detik. Angka tersebut, katanya, hanya 1,93% dari kebutuhan ideal Kota Jakarta. Seharusnya paling tidak luas waduk yakni 5% dari luas daratan sebuah daerah. “Jadi, jangan salahkan airnya. Air ini berkah. Yang harus dipikirkan adalah terobosan untuk kondisi sekarang,” ujar Firdaus.

Oleh karena itu, dia menilai dibutuhkan rekayasa yang dapat menggantikan fungsi tersebut seperti pembangunan waduk dan situ. Kemudian, mengamankan kali dan sungai dari sedimentasi hingga menghilangkan perilaku primitif seperti membuang sampah sembarangan dan menduduki bantaran sungai.

Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berniat membangun sembilan waduk di lahan 340 ha yang dapat menampung debit air sebanyak 3,4 juta meter kubik per satu meter kedalaman waduk dengan nilai investasi Rp5,1 triliun.

Namun, Firdaus mempertanyakan apakah upaya tersebut efektif, mengingat pembangunan embung tersebut membutuhkan upaya pembebasan lahan. Bukan rahasia lagi, pembebasan lahan menjadi konflik terpanjang dalam sebuah proyek.

“Tengok saja KBT [Kanal Banjir Timur] yang membutuhkan waktu 34 tahun untuk proses pengadaan lahannya. Kemudian Waduk Jatigede yang konstruksinya hampir rampung, namun relokasi warga masih dalam proses,” paparnya.

Berdasarkan kondisi tersebut, Firdaus menilai pemerintah harusnya lebih jeli untuk mengambil keputusan mengenai proyek yang dipilih un tuk mengendalikan banjir Jakarta. Proyek penanganan banjir sebaiknya me minimkan unsur pembebasan tanah.

TEKNIK TUNNELING Apalagi, dengan kondisi teknologi yang semakin maju, pembangunan terowongan bawah tanah dengan teknik tunneling dinilai menjadi sa lah satu solusi yang patut dipertimbangkan, seperti sodetan Ciliwung. Untuk skala yang lebih besar, Firdaus menganggap Multi Purpose Deep Tunnel bisa menjadi salah satu proyek penanganan banjir yang cukup signifikan.

Dengan kapasitasnya, terowongan bawah tanah yang sudah lazim di beberapa negara tersebut dinilai mampu menampung debit air Sungai Ciliwung. Proyek ini, jelasnya, juga telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemprov Jakarta. Selain itu, berikut beberapa solusi baru lainnya yang ditawarkan pemerintah untuk menganggulangi banjir Jakarta dan sekitarnya.

Sementara itu, akhir Januari lalu, Kementerian Pekerjaan Umum bersama dengan Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat, Balai Pengelolaan DAS Citarum–Ciliwung di bawah Kementerian Kehutanan, dan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten mengadakan pertemuan.

Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PU Mohammad Hasan mengatakan dari pertemuan itu terdapat dua usulan yakni pembangunan dam Ciawi 1 dan Sukamahi, serta sodetan Sungai Ciliwung–Cisadane.

Dari kedua tawaran tersebut, lanjutnya, terdapat tiga alternatif reduksi banjir yakni alternatif pertama yakni membangun dam Ciawi 1 dan Sukamahi serta satu sodetan Ciliwung tahap II (Sungai Ciliwung ke KBT), tanpa membangunan sodetan Ciliwung–Cisadane.

Opsi kedua yaitu mendirikan dam Ciawi 1 dan Sukamahi serta dua sodetan yakni sodetan Ciliwung tahap II dan sodetan Ciliwung–Cisadane di hulu Katulampa, Desa Mulyaharja. Pilihan terakhir ialah hanya membangun dam Ciawi 1 dan dua sodetan yakni sodetan Ciliwung tahap II dan Ciliwung–Cisadane di hulu Katulampa, Desam Mulyaharja.

“Saat ini rencana pembangunan waduk Ciawi dan waduk Sukamahi sudah mulai tahap detail desain, termasuk penyiapan studi amdal [analisis mengenai dampak lingkungan],” kata Hasan kepada Bisnis, Minggu (2/2).

Rancangan desain yang disusun bersama dengan pemangku kepentingan terkait dijadwalkan selesai selambat-lambatnya pada September 2014. Setelahnya, akan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah persiapan pembangunan fisik pada tahun depan. Adapun untuk sodetan Ciliwung– Cisadane, pemerintah tengah melakukan kajian kembali atas trase sodetan yang sempat ditolak masyarakat Tangerang tersebut.

Meski masterplan sodetan senilai Rp1,5 triliun tersebut telah ada sejak 1990-an, tetap peninjauan ulang kembali diperlukan mengingat perkembangan bangunan-bangunan tinggi yang memiliki fondasi dalam di kawasan tersebut. “Paling cepat sodetan baru dapat dibangun pada 2018, setelah normalisasi Sungai Cisadane rampung,” paparnya.

Jurnalis : Dimas Novita S.
Bisnis Indonesia | 03 Februari 2014 | Hal. 30