SEMARANG, PERHUTANI (13/06/2025) | Di balik sejuknya hutan hujan tropis Petungkriyono, suara nyaring menggema dari kanopi pepohonan. Suara itu bukan berasal dari burung atau serangga biasa, melainkan dari Owa Jawa (Hylobates moloch) primata endemik yang kini hanya tersisa di beberapa titik hutan dataran tinggi Pulau Jawa.

Hutan Petungkriyono, yang membentang di Kabupaten Pekalongan dengan luas lebih dari 5.800 hektare, menjadi satu dari sedikit habitat alami tersisa bagi satwa langka ini. Kawasan ini dikelola oleh Perum Perhutani dan terkenal karena keanekaragaman hayatinya, terutama karena tutupan hutan hujan tropisnya yang masih utuh kondisi yang makin langka di Jawa Tengah.

Owa Jawa dikenal sebagai makhluk sosial yang monogami. Hidup dalam keluarga kecil dan setia seumur hidup, mereka menghabiskan hampir seluruh waktunya bergelantungan di atas pohon tanpa pernah menyentuh tanah. Ciri khas suara duet jantan dan betina menjadi alarm alami yang menandai keberadaan mereka di tengah hutan. Namun, keberadaan Owa Jawa kian hari kian mengkhawatirkan. Berdasarkan data pemantauan habitat, hanya sekitar 124 hingga 289 individu yang tersisa di Jawa Tengah. Di luar kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Petungkriyono menjadi satu dari sedikit pulau harapan bagi kelangsungan hidup mereka.

Fragmentasi hutan akibat pembukaan lahan, pemukiman, dan tekanan populasi manusia menjadi faktor utama penurunan populasi Owa. Ruang jelajah mereka terpotong-potong, menyebabkan kesulitan dalam mencari pasangan dan meningkatkan risiko kawin sedarah. Kepala Divisi Regional Perum Perhutani Jawa Tengah, Bapak Asep Dedi Mulyadi, menyampaikan keprihatinannya secara langsung terkait kondisi ini. “Keberadaan Owa Jawa sudah masuk kategori sangat kritis. Ini bukan sekadar soal satu spesies, tapi tentang ekosistem yang terganggu. Jika kita tidak bertindak sekarang, bukan tidak mungkin mereka akan punah dalam waktu yang tidak lama,” ujarnya saat ditemui di Semarang.

Menurutnya, suara Owa di pagi hari bisa menjadi pertanda baik jika masih terdengar. Tapi diamnya hutan justru lebih mengkhawatirkan. “Kalau hutan sunyi dari suara Owa, itu bukan ketenangan, tapi peringatan,” tambahnya. Pihaknya ingin membangun kesadaran kolektif bahwa keberadaan Owa Jawa adalah aset kebanggaan bersama.

Meski tantangannya besar, harapan masih menyala. Kolaborasi antara Perhutani, LSM konservasi seperti SwaraOwa, akademisi, dan masyarakat lokal terus ditingkatkan. Salah satu pendekatannya adalah dengan mengembangkan ekowisata berbasis konservasi dan program ekonomi hijau berbasis hasil hutan bukan kayu seperti kopi dan madu.

Di Desa Kayupuring dan sekitarnya, warga mulai dilibatkan dalam pemantauan satwa, pendidikan lingkungan, serta pengelolaan ekowisata yang tidak mengganggu habitat owa.

Owa Jawa bukan hanya satwa endemic, mereka adalah penjaga heningnya hutan, simbol keseimbangan ekologi, dan suara yang menandai keberlangsungan kehidupan liar di Jawa. Bila suara mereka menghilang, maka bukan hanya satu spesies yang punah, tetapi juga sebagian dari identitas alam Jawa yang ikut lenyap. Upaya pelestarian harus menjadi tanggung jawab bersama, agar nyanyian Owa Jawa terus terdengar di atas kanopi hutan Petungkriyono. (Kom-PHT/DivJateng/Isa)

Editor: Tri

Copyright © 2025