CNNINDONESIA.COM (7/7/2017) | Memasuki Desa Cikole, Lembang, Bandung Utara akan disuguhi dengan pemandangan hutan pinus yang menjulang serta udara yang sejuk nan teduh. Pepohonan tinggi yang hijau, sungguh menyegarkan mata.

Terdengar siulan-siulan burung yang indah memadukan suasana yang tenang. Rambu-rambu lalu lintas yang mengingatkan rawan pohon tumbang, terpampang di sisi jalan setiap 20 meter. Sepanjang sisi Jalan Raya yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Subang tersebut, memang ditumbuhi hamparan tanaman pinus.

Pohon pinus merupakan contoh tanaman jenis taiga, yang daunnya berbentuk jarum. Pohon pinus akan dijumpai pada daerah yang beriklim sedang atau dalam ketinggian 1.500-2.500 m di atas permukaan laut. Sehingga tidak heran, jika udara di kawasan Desa Cikole ini sejuk dan dingin.

Sebagian besar hamparan hutan pinus ini dijadikan tempat wisata, seperti tempat untuk outbond, camping ground, paintball, atau penginapan. Akan tetapi, terdapat satu kawasan yang tidak terlalu mencolok menjadi salah satu pilihan orang-orang untuk berwisata. Tempat tersebut adalah Pal 16 Wisata Hutan Pinus.

Harga tiket masuk ke kawasan hutan pinus ini Rp 5.000 per orang. Jika pengunjung menggunakan kendaraan dikenai biaya tambahan sebesar Rp 3.000 untuk satu motor, dan Rp 5.000 untuk satu mobil. Menurut Parno, petugas dari Perhutani, tempat wisata ini dibuka sejak bulan Juni 2016.

Kebanyakan pengunjung adalah yang hendak beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Maklum, kawasan ini berada di pinggir lintasan jalan raya, yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Subang. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari tempat wisata Gunung Tangkuban Perahu.

Pada April lalu tampak sedikit pengunjung yang datang ke kawasan Wisata Hutan Pinus itu. Ada beberapa anak muda sedang asyik berfoto, dan di bangku lainnya ada sepasang suami istri sedang bercengkrama hangat. Hari itu, memang hari biasa, bukan hari libur, jadi tidak terlalu banyak orang yang mengunjunginya.

“Kalau hari libur atau akhir pekan, pengunjung bisa 500 sampai 1000 orang,” ujar Parno. “Kalau hari biasa kaya gini, paling 50 orang,” lanjutnya.

Seorang pengunjung, bernama Fildza Awwalia, mahasiswa Kedokteran Universitas Padjadjaran merasa puas dengan tempat wisata ini. “Saya ke sini karena penasaran saja, tapi ternyata enak tempatnya. Cukup buat menghilangkan penat dari kegiatan kampus,” ujarnya. “Akan tetapi sangat disayangkan, masih terdengar suara-suara kendaraan yang sedikit mengganggu,” lanjut Fildza.

Suara kendaraan yang melintasi jalan raya tersebut memang sedikit bising, akan tetapi keasrian tempat wisata ini mampu mengalihkan perhatian pengunjung. Buktinya, tempat ini masih ramai dikunjungi.

Hutan pinus seluas 2 hektare ini disulap menjadi tempat wisata sederhana yang menarik. Ada banyak gazebo yang sengaja dibuat untuk memfasilitasi pengunjung. Hampir di setiap pohon yang bersebelahan, terdapat ayunan jaring di tengahnya. Cocok sekali untuk sekedar bersantai dan menikmati alam.

Selain itu, terdapat berbagai properti yang sengaja dibuat untuk area berfoto pengunjung, seperti rangkaian bentuk hati yang terbuat dari bambu, selfie deck yang juga terbuat dari bambu, dan ada hammock (ayunan yang digantung di antara batang pohon) yang bertingkat. Cukup mengeluarkan uang Rp 10.000, pengunjung bisa bersantai di salah satu hammock tersebut.

Kesederhanaan yang nikmat, itu yang dirasakan ketika berada di tempat wisata ini. Kesederhanaan ini berasal dari gagasan pengelola, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Giri Makmur Desa Cikole yang bekerjasama dengan Perhutani KPH Bandung Utara.

“Hutan pinus ini milik Perhutani. Kami, LMDH sebagai pengelolanya,” ujar Iyeng, Kepala Pengelola Harian Pal 16 Wisata Hutan Pinus. Iyeng bercerita, bahwa tidak mudah untuk mendirikan tempat wisata ini. Rencana mendirikannya sudah lama diidamkan oleh anggota LMDH Desa Cikole.

Lembaga tersebut memang beranggotakan masyarakat yang tinggal di Desa Cikole. Pada awalnya, kawasan hutan pinus itu akan dibangun menjadi sebuah trek sepeda. Akan tetapi setelah didiskusikan, LMDH bersama Perhutani memutuskan untuk membangun kawasan wisata sebagai tempat bersantai dan beristirahat.

Proses yang ditempuh untuk membangun tempat wisata ini tidak begitu lama. Karena sudah ada keinginan yang menggebu dari masyarakat untuk memiliki tempat wisata sendiri. Pada akhirnya masyarakat desa yang tergabung dalam LMDH bergotong royong, menyulap hutan pinus menjadi tempat wisata yang nyaman.

Menurut Iyeng, motivasi tersebut hadir karena ada rasa dorongan untuk memiliki tempat wisata sendiri, dan menyaingi pihak swasta yang sudah banyak membangun tempat wisata di daerah ini. “Jangan sampai, jadi tamu di daerah sendiri,” begitulah motivasi Iyeng beserta kelompok LMDH untuk membangun tempat wisata ini.

Iyeng bercerita pengalamannya dahulu, Iyeng sempat berjualan di kawasan wisata Gunung Tangkuban Perahu. Jika ia akan memasuki kawasan tersebut, tanpa menunjukkan kartu tanda sebagai penjualnya, akan dianggap sebagai pengunjung dan bayar sesuat tiket masuk. Akhirnya, ia bersama LMDH mampu membuka tempat wisata walaupun sederhana tapi sudah cukup memuaskan bagi anggota LMDH memiliki tempat wisata sendiri.

Pembangunan Pal 16 Wisata Hutan Pinus ini juga banyak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Selain keuntungan dari tiket masuk masuk ke kas LMDH, masyarakat juga memperoleh lapangan kerja seperti membuka warung, penjaga parkir, dan penjaga kebersihan.

Seperti Nurhayati, salah satu pemilik warung yang juga menyewakan beberapa ayunan sangat merasa diuntungkan dengan dibukanya tempat wisata ini. Warungnya ramai oleh pengunjung, apalagi kalau weekend, karena penjual di kawasan tersebut bisa dihitung dengan jari jumlahnya.

Begitupula dengan Nisa, perempuan berumur 35 tahunan tersebut mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga kebersihan di kawasan itu. Ia berkata dengan senyum dan sapu di tangannya, bahwa dulu ia hanya bekerja sebagai penjaga warung, tapi sekarang ia mendapatkan pekerjaan tetap setiap hari.

Sambil menyeruput kopinya, Iyeng menjelaskan juga bahwa pembukaan tempat wisata ini tidak melupakan untuk melestarikan lingkungan. “Kami membuka tempat wisata ini tetap melestarikan lingkungan, seperti dibangun daerah serapan air. Kalau hujan deras, masih ada kawasan untuk menampung air tersebut”.

Bahkan pohon-pohon yang ditebang untuk keperluan fasilitas tempat wisata, sudah ditanam kembali dengan tanaman-tanaman lain. Fasiltas yang dibangun pun merupakan fasilitas sederhana, agar merasa tetap alami dan melestarikan lingkungan.

Bangku-bangku dan meja yang disediakan juga sebagian besar dari sisa tebangan pohon pinus yang sudah tua, dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menjadi fasilitas yang menarik dan alami. Pengelola juga menyediakan tempat sampah, dan menghimbau pengunjung agar menjaga kebersihan tidak membuang sampah sembarangan.

Himbauan-himbauan tersebut giat diingatkan oleh pengelola. “Kami membuka tempat wisata ini tidak ingin merusak tatanan alam, apalagi berdampak ke masyarakat luas,” tambah Iyeng.

Sumber : cnnindonesia.com

Tanggal : 7 Juli 2017