JAWAPOS.COM (4/4/2018) | Roda sepeda motor menggelinding dengan gigih menyusuri jalanan hutan menuju ke arah jalan pulang. Jok motor bagian belakangnya dipasang semacam tas obrok atau rengkek untuk mengangkut hasil panennya. Sesampainya di rumah, pria berusia sekitar 39 tahun itu pun menurunkan tas obrok-nya dari sepeda motor. Ternyata hasil panennya ialah jagung. Dia pun mengatakan bahwa hasil panennya sekitar tiga ton per hektare.

Pria yang bernama Johan itu mengungkapkan bahwa lahan untuk menanam jagung tersebut ialah lahan milik Perhutani KPH Padangan, karena dia merupakan warga Kecamatan Ngambon. Dia mengungkapkan lahan tersebut baru digarapnya tahun lalu. “Saya ambil satu petak atau satu hektare saja mas, tetapi lahan saya termasuk jelek tanahnya, karena itu, produksinya hanya tiga ton per hektare, kalau lahannya bagus tentu lebih dari lima ton,” jelasnya.

Kualitas lahan juga memengaruhi biaya pajaknya yang dibayarkan ke pihak Perhutani atau LMDH. Sebab, penduduk setempat sering menyebutnya mandor alas (petugas hutan, Red). Adapun biaya pajak yang harus dibayarkan tiap tahun antara Rp 450 ribu hingga Rp 1 juta per hektare. Bahkan kalau lahannya sama sekali tidak produktif, penggarapnya tak perlu bayar. “Kalau lahan saya Rp 450 ribu per tahun,” tuturnya. Menurut dia, biaya tersebut sangat menguntungkan, karena hasil penjualan panen Rp 3 juta per ton. “Diperkirakan per tiga bulan saya memeroleh Rp 9 juta dikurangi modal Rp 1 juta,” ujarnya.

Menurut dia, warga setempat sangat merasakan dampak lahan tumpangsari, bahkan orang tua Johan sendiri sudah menggarap lahan tumpangsari lebih dari 10 tahun. Padahal sebenarnya lahan tumpangsari hanya berlaku satu tahun. Tetapi, kata dia, selama ini reboisasi jarang dilakukan oleh Perhutani. “Tetapi kadang warga juga nakal, ketika sudah ditanami pohon kembali, daun-daunnya dipotongi atau bahkan ditebang agar lahan tumpangsarinya bisa tumbuh,” tuturnya. Adapun tanaman selain jagung, di antaranya, kedelai, kacang hijau, atau padi. Di sisi lain, dia berpendapat bahwa untuk membuat hutan seperti dulu lagi itu susah.

Selain Johan, ada juga warga yang merasakan perekonomian membaik sejak menggarap lahan tumpang sari. Pria bernama Susanto juga merasakan efek yang baik dari lahan tumpangsari. Adanya lahan tersebut, bagi dia, sangat berdampak pada wong cilik. Karena juga bisa menekan para pelaku pembalakan liar. “Pelaku-pelaku itu tentu masih ada, karena memang kerap ada oknum-oknum yang melancarkan mereka,” tuturnya.

Tetapi, dia sejak lima tahun menggarap lahan tumpangasari, setidaknya per tiga bulan bisa memeroleh hasil sebesar Rp 15 juta hingga 20 juta. “Hasil segitu hanya satu hektare saja dan saya menanamnya jagung,” tuturnya. Adapun pupuk yang dipilihnya ialah pupuk kandang.

Menurut Humas Perhutani KPH Bojonegoro Markum, pengelolaan sumber daya hutan sangat memerhatikan dari segi sosial, ekologi, dan ekonomi. Jadi harapannya dengan memadukan tiga poin tersebut, masyarakat desa hutan bisa merasakan manfaatnya. Adapun sharing lahan tumpangsari yakni 10 persen untuk Perhutani dan 90 persen untuk petani setempat. “Lahan tumpangsari itu merupakan hutan pangkuan desa (HPD) yang memang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, namun bentuk kerja sama tersebut ada pajak yang harus dibayar,” ujarnya.

Selain itu, hasil produksi hutan juga ada sharing-nya sebesar 25 persen bagi LMDH dan 75 persen bagi Perhutani. Karena tidak mungkin masyarakat setempat hanya menjadi penonton saja. “Jadi dari segi sosial, ekologi, dan ekonomi harus berjalan secara beriringan,” ujarnya. Sementara, jumlah LMDH yang terdaftar KPH Bojonegoro sebanyak 69 LMDH.

Selain mengelola hutan, LMDH juga diberikan kewenangan mengelola wisata yang merupakan kawasan Perhutani. Sehingga ekonomi kreatif pun bisa tumbuh dari kantong-kantong pedesaan hutan. “Butuh adanya peran bersama untuk menyejahterakan masyarakat desa hutan,” ujarnya. Sekaligus, kelayakan hidup masyarakat tentu diharapkan bisa menekan jumlah pembalakan liar di Bojonegoro.

Sementara itu, Administratur KPH Parengan Badarrudin Amin mengungkapkan luas hutan KPH Parengan sebesar 17.633 hektare. Hutan yang masuk wilayah Bojonegoro seluas 2.733 hektare yakni BKPH Malo dan BKPH Pungpungan.

Ketika dikonfirmasi terkait lahan tumpangsari, dia menerangkan bahwa lahan tumpangsari tiap tahun berubah-ubah. Tergantung wilayah yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan tumpangsari. “Tahun ini, 856,3 hektare dimanfaatkan sebagai lahan tumpangsari,” ujarnya. Namun, dia tak memungkiri ada beberapa petani yang mengganggu tanaman hutan. “Kami masih mentolerir dan beri imbauan, karena memang durasi waktunya satu tahun saja,” pungkasnya.

Sumber : jawapos.com

Tanggal : 4 April 2018