SURAKARTA, PERHUTANI (19/05/2025) | Dalam upaya merespons perubahan iklim dan menanggulangi degradasi lingkungan yang kian nyata di kawasan pegunungan, komunitas sipil di lereng Lawu kembali mengambil inisiatif strategis. Pada Jumat (16/03), bertempat di Sakura Hill, Cemoro Kandang, Relawan Peduli Alam Tawangmangu menginisiasi kegiatan koordinasi dan penyerahan simbolis bibit pohon dalam rangka “Gerakan 10.000 Pohon” yang akan dilaksanakan puncaknya pada Desember 2025 di Gunung Lawu.
Inisiatif ini menjadi bukti nyata bahwa konservasi hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, melainkan juga menjadi panggilan nurani masyarakat yang tinggal bersentuhan langsung dengan ekosistem pegunungan. Pemulihan lanskap Lawu tidak hanya soal menanam pohon, tapi juga mengakar dalam upaya membangun ketahanan ekologis dan sosial.
Dalam sambutannya pada kegiatan tersebut, Administratur Perhutani KPH Surakarta melalui Kepala BKPH Lawu Utara, Sartono, menegaskan pentingnya sinergi antara kelembagaan kehutanan dan komunitas lokal. “Gerakan 10.000 Pohon bukan sekadar aksi tanam, ini adalah upaya regenerasi hutan dalam makna utuh—ekologis, spiritual, dan kultural,” ujarnya.
Sartono menjelaskan bahwa kondisi hutan di wilayah Lawu Utara, terutama zona wisata seperti Cemoro Kandang, semakin menghadapi tekanan akibat aktivitas manusia dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, keberadaan relawan dan pemuda pecinta alam menjadi modal sosial yang sangat berharga. Perhutani Lawu Utara mendukung penuh inisiatif ini dengan penyediaan bibit, pendampingan teknis, serta integrasi dalam rencana pengelolaan hutan jangka panjang. “Perhutani ingin aksi ini menjadi katalisator lahirnya generasi pelestari hutan yang berpikir jangka panjang,” tambahnya.
Ketua Relawan Peduli Alam Tawangmangu, Darmadi, menegaskan bahwa gerakan ini adalah wujud cinta komunitas terhadap Gunung Lawu. “Kami tidak hanya ingin menanam pohon, tapi juga membangun relasi spiritual dan intelektual dengan alam. Setiap bibit adalah simbol harapan untuk masa depan yang lebih teduh dan lestari,” tuturnya.
Darmadi menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan rangkaian panjang dari gerakan konservasi komunitas yang sudah berlangsung sejak 2020, melibatkan lintas elemen: pengelola wisata, warga lokal, pelajar, pecinta alam, hingga mitra kehutanan. Pemilihan waktu puncak kegiatan di bulan Desember—bertepatan dengan musim penghujan—adalah bagian dari pendekatan berbasis data iklim dan keberlanjutan. Dengan sistem monitoring komunitas dan peta partisipatif, mereka berupaya memastikan tingkat kelulushidupan tanaman tetap tinggi dan berdampak jangka panjang.
Kegiatan yang digelar di Sakura Hill ini bukan hanya seremoni penyerahan bibit, melainkan cerminan komitmen akar rumput terhadap pelestarian lingkungan hidup. “Gerakan 10.000 Pohon” adalah langkah awal dari rencana besar untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Lawu sebagai sumber air, pelindung keanekaragaman hayati, dan ruang spiritual masyarakat.
Harapannya, inisiatif ini tidak berhenti di Tawangmangu, tetapi dapat direplikasi di lereng-lereng gunung lain di Indonesia. Dengan dukungan lintas sektor dan dokumentasi ilmiah yang solid, Gerakan ini berpotensi menjadi proyek konservasi komunitas berskala nasional yang digerakkan oleh semangat gotong royong dan kecintaan terhadap bumi. Sebab, seperti pepatah lama menyebutkan, siapa menanam pohon, sesungguhnya sedang menanam kehidupan. (Kom-PHT/Ska/Mar)
Editor: Tri
Copyright © 2025