SURAKARTA, PERHUTANI (19/05/2025) | Desa Banyurip, sebuah kawasan yang dikelilingi hutan di Kecamatan Jenar, Sragen, menghadapi ironi akut: limpahan potensi ekologis berbanding terbalik dengan realitas ekonomi masyarakatnya. Dengan status zona merah dalam indeks kemiskinan Jawa Tengah tahun 2024 menurut Susenas, desa ini juga didera kekeringan yang menggerus sumber daya air dan menjerat produktivitas pertanian dan peternakan warga.

Universitas Sebelas Maret (UNS), melalui Dies Natalis ke-49 Fakultas Pertanian, mengadakan Acara Pengabdian kepada Masyarakat dengan mengusung tema “Pengembangan Desa Banyurip sebagai Desa Ngrowot untuk Pelestarian Budaya dan Ketahanan Pangan Masyarakat”, sebuah model kolaborasi nyata antara akademisi, birokrat, LSM, dan masyarakat untuk menjawab tantangan zaman: membangun ketahanan pangan berakar budaya dan berbasis ekosistem lokal (17/05).

Administratur Perhutani KPH Surakarta melalui Kepala Sub Seksi Hukum Kepatuhan Agraria dan Komunikasi Perusahaan, Maria Dyah Rahayu didampingi Kepala BKPH Tangen Mastur, menegaskan bahwa hutan tidak boleh dipandang sekadar sebagai objek eksploitatif, melainkan sebagai ruang hidup bersama.

“Desa Ngrowot bukan sekadar konsep, tapi gerakan sadar akan pentingnya hubungan spiritual, ekologis, dan ekonomi antara manusia dan hutan. Garut (Maranta arundinacea), sebagai tanaman asli yang tahan kekeringan dan kaya gizi, dipilih bukan hanya karena adaptabilitasnya, tapi juga karena ia merepresentasikan narasi lokal yang kuat—narasi pangan dari akar rumput,” ujarnya di sela-sela penanaman bersama.

Perhutani mendukung penuh inisiatif ini dengan pendekatan social forestry yang partisipatif. Mereka meyakini, transformasi desa berbasis agroekologi dan budaya tidak hanya menjawab kebutuhan pangan, tetapi juga merekatkan kembali ingatan kolektif masyarakat terhadap fungsi sakral dan produktif hutan.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Pengabdian Masyarakat Fakultas Pertanian UNS, Dr. Fitria Roviqowati, menyampaikan bahwa pemilihan garut sebagai tanaman utama bukanlah kebetulan, melainkan hasil kajian mendalam terhadap kearifan lokal dan dinamika ekosistem Banyurip.

“Program ini mencakup tiga pilar utama: pelatihan budidaya garut, pengolahan produk olahan bernilai ekonomi seperti emping garut, serta pendidikan lingkungan dan bantuan sosial. Kami tidak hanya ingin meningkatkan pendapatan, tetapi juga membangun kesadaran lintas generasi akan pentingnya kedaulatan pangan dan pelestarian budaya,” tuturnya.

Ia menekankan pentingnya knowledge transfer dari akademisi kepada masyarakat melalui Sekolah Lapangan yang melibatkan guru besar dan pakar pangan olahan. Format interaktif dan praktikal ini diharapkan mampu menjembatani teori dan praktik secara aplikatif.

Program di Desa Ngrowot ini bukan sekadar kegiatan seremoni Dies Natalis, tetapi merupakan prototipe intervensi terpadu untuk ketahanan pangan berbasis komunitas dan budaya. Dengan pendekatan kolaboratif dan transdisipliner, inisiatif ini memberikan harapan baru bagi desa-desa marginal di Indonesia untuk bangkit dengan mengandalkan potensi lokal yang selama ini terpinggirkan.

Ke depan, Fakultas Pertanian UNS berencana mendorong replikasi model ini ke daerah lain melalui skema riset terapan dan kemitraan multistakeholder. Harapan besar terletak pada transformasi Banyurip menjadi episentrum edukasi agroekologi dan konservasi budaya, tempat di mana akar, daun, dan semangat warga tumbuh berdampingan untuk menghadirkan masa depan yang lestari dan berdaulat. (Kom-PHT/Ska/Mar)

Editor: Tri

Copyright © 2025