INFOPUBLIK.ID (01/07/2025) | Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekitar 8.000 hektare kebun kopi yang berada di wilayah otoritasnya. Keterlibatan warga ini diwujudkan melalui kerja sama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di lima kabupaten.

Administratur KPH Kedu Utara, Maria Endah Ambarwati, menyampaikan bahwa pengelolaan kebun kopi ini merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, sekaligus bagian dari komitmen Perhutani dalam meningkatkan produktivitas kopi nasional dan kesejahteraan petani.

“Ada ratusan LMDH yang di bawah binaan KPH Kedu Utara, ini tersebar dalam lima kabupaten,” ujar dia, Senin (30/6/2025).

Kelima kabupaten tersebut adalah Temanggung, Kendal, Wonosobo, Semarang, dan Magelang.

Dari kelima wilayah tersebut, jelas dia, Kabupaten Temanggung memiliki lahan terluas untuk kebun kopi, khususnya di Kecamatan Jumo, Kaloran, dan Bejen.

“Luasan di Temanggung mencapai empat ribu hektare,” kata Maria.

Ia menjelaskan bahwa ada tiga jenis kopi yang dibudidayakan, yakni Robusta, Arabika, dan Yellow Caturra.

Khusus jenis Yellow Caturra, terang dia, saat ini sedang dikembangkan di daerah dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), seperti kawasan Jumprit yang berada di lereng Gunung Sindoro.

Menurut Maria, kopi Yellow Caturra memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari kopi pada umumnya.

“Kopi Yellow Caturra berbeda dengan biji kopi lainnya yang berwarna merah pekat ketika matang, Yellow Caturra hanya berwarna kuning. Ukuran biji kopinya juga terbilang kecil, lebih keras, dan lebih wangi,” jelas dia.

Dari sisi rasa, kopi ini pun cukup istimewa. “Ketika diseduh, Yellow Caturra ini memiliki rasa seperti lemon. Jadi mirip seperti teh buah,” ungkapnya.

Perhutani memilih untuk mengembangkan varietas ini karena nilai ekonominya yang tinggi. “Harga sekitar Rp400 ribu per kilogram,” kata Maria.

Ia menjelaskan, kebun kopi ditanam di bawah tegakan pohon hutan, sehingga tercipta sistem tumpang sari yang memberi manfaat ekologis sekaligus ekonomi.

Dalam sistem ini, masyarakat memanfaatkan tanaman kopi, sedangkan Perhutani memanfaatkan tegakan pohon, terutama yang sudah memasuki masa tebang.

Untuk sistem bagi hasil, Perhutani menetapkan skema 30 persen untuk Perhutani dan 70 persen untuk masyarakat.

“Kami berharap kerja sama ini bisa meningkatkan produksi kopi dalam negeri, sekaligus mensejahterakan petani di sekitar wilayah hutan,” ujar Maria.

Sumber : infopublik.id