SURAKARTA, PERHUTANI (30/09/2025) | Isu keterbatasan air tanah dan kerentanan kekeringan menjadi tantangan nyata di Kabupaten Wonogiri. Untuk meresponsnya, Perhutani menginisiasi program sumur resapan dalam skema Perhutani Peduli mellaui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai upaya konservasi dan mitigasi krisis air di kawasan hutan dan sekitarnya (24/09).
Dalam pelaksanaannya, pembangunan sumur resapan dilakukan di banyak titik, termasuk di Kecamatan Baturetno, di mana 5 titik sumur resapan telah dibangun sebagai bagian dari kolaborasi dengan Perum Jasa Tirta I. Program tersebut diiringi penghijauan sekitar lokasi dan pemetaan manfaatnya terhadap kualitas air tanah, daya serap tanah, hingga keberlanjutan ekosistem. Evaluasi dan pemetaan manfaat menjadi langkah penting agar program tidak hanya bersifat fisik tetapi juga memberikan dampak strategis jangka panjang.
Administratur KPH Surakarta melalui Kepala BKPH Baturetno, Karn,a menyatakan bahwa pihaknya aktif mendukung pelaksanaan sumur resapan sebagai bagian integral pengelolaan hutan dan konservasi air. Ia menjelaskan bahwa sumur resapan adalah solusi konkret untuk memperkuat daya serap tanah di lahan hutan negara dan lahan marjinal. Perhutani akan memetakan lokasi-lokasi yang paling rentan terhadap aliran permukaan, serta memastikan bahwa sumur resapan ini tidak merusak struktur akar pohon atau fungsi hidrologi lokal.
“Dengan evaluasi berkala, kita akan tahu seberapa besar kontribusi sumur resapan terhadap cadangan air tanah, serta dampaknya terhadap menurunnya limpasan air dan erosi,” ungkap Karna. Ia menambahkan bahwa BKPH akan menjalin kerja sama dengan lembaga penelitian agar data pemetaan dan evaluasi dijalankan secara ilmiah dan berkesinambungan.
Di tingkat tapak, penyuluh kehutanan setempat, Siti Daryanti, menjelaskan peran penting program ini bagi masyarakat sekitar. Ia menyatakan bahwa sebagai penyuluh, pihaknya membantu sosialisasi metode penggunaan sumur resapan, pemeliharaan rutin, dan pengaturan vegetasi di sekitarnya agar sumur tidak cepat tersumbat. Di desa-desa yang sudah memiliki sumur, warga melaporkan bahwa musim kemarau tidak separah dulu karena akses air tanah lebih stabil.
“Evaluasi pemetaan yang kami lakukan mencakup pengukuran perubahan muka air tanah dan kualitas air. Kami berharap data ini bisa memperkuat argumentasi bahwa sumur resapan harus diperluas ke wilayah lain,” jelasnya. Siti juga menekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan sumur sangat penting agar fungsi sumur tetap optimal.
Dengan pemetaan manfaat dan evaluasi yang komprehensif, program sumur resapan Perhutani tidak hanya menjadi proyek fisik, tetapi bisa menjadi basis kebijakan konservasi air dan strategi penanggulangan kekeringan di Wonogiri. Harapannya, data yang terkumpul dapat digunakan untuk memperluas program ke wilayah-wilayah lain, mendapatkan dukungan institusional lebih besar, dan menjadikan Wonogiri sebagai model kawasan hutan yang mampu menjaga keseimbangan hidrologi sekaligus mendukung kebutuhan air masyarakat. Jika monitoring dan evaluasi berjalan efektif, program ini akan membuktikan bahwa aksi lingkungan dan pembangunan dapat berjalan sinergis—menjaga alam sekaligus memberi manfaat nyata bagi warga desa. (Kom-PHT/Ska/Mar)
Editor: Tri
Copyright © 2025