Makan tempe dan tempe lagi. Kenapa tidak! Makanan berbahan dasar fermentasi ragi jamur Rhizopus sangat termasyhur kandungan gizinya. Sumber Wikipedia menyebutkan, tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai kandungan tempe mempunyai fungsi sebagai antibiotik penyembuh infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.
Produksi dan konsumsi tempe bukan monopoli orang-orang kampung Indonesia, tetapi merambah beberapa negara, bahkan diteliti khusus di jerman, Jepang dam Amerika Serikat. Tempe Jiyah dari desa kedungjati, Grobogan yang berjarak 40 km arah timur Semarang misalnya, adalah tipikal produksi tempe lokalan. Tempe asli kedelai tanpa campuran apapun ini sangat diminati Sujiyah sejak awal.
Adalah Sujiyah, perempuan pemilik usaha kecil tempe “JIYAH” yang ditekuni turun temurun dari orang tuanya. Ibu dua anak ini meneruskan usaha keluarga sejak sepuluh tahun lalu dengan modal awal Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Modal pinjaman bank dengan bunga lumayan tinggi itu persyaratannya tergolong rumit bagi seorang sujiyah. Putus asa ? Tidak! Setelah lelah mengembalikan pinjaman bank, ia hampir saja menghentikan usahanya. Beruntung, Jiyah dan Purwadi suaminya yang pensiunan Perhutani adalah salah satu anggota kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Jati binaan Perhutani. Salah satu kegiatan produktif LMDH yaitu meningkatkan usaha melalui Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Melalui program tersebut Jiyah mendapat bantuan dana sebagai modal kerja lebih besar daripada pinjamannya terdahulu pada bank sebesar Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah) dengan jangka waktu tiga tahun untuk pelunasannya, Sujiyah pun meneruskan usaha turunan itu.
Sujiyah dibantu anak-anaknya mengolah bahan baku kedelai yang didapatkan dari pedagang-pedagang di beberapa desa. Setelah diolah menjadi tempe, dipasarkan di tetangga-tetangga terdekat.
Ternyata keripik tempe keluarga Sujiyah mendapat sambutan luar biasa. Banyak para tetangganya membeli tempe mentah Sujiayh dan mulai ikut-ikutan membuat keripik tempe. Keripik tempe bungkus plastik mulai populer di kedungjati, bahkan dipasarkan ke berbagai daerah melalui Koperasi Perhutani. Yang lebih menggembirakan lagi bagi Sujiyah adalah, ia bisa menambah tenaga kerja dan mengurangi pengangguran di desanya.
Hitung-hitungan kasar, penghasilan awal Jiyah rata-rata Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) perbulan, meningkat menjadi Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) perbulannya. Usaha keripik tempe ini pun perlahan-lahan meningkatkan mata pencaharian beberapa warga desa.
Dukungan PKBL melalui Perhutani telah menguatkan pengusaha kecil seperti Sujiyah. Pinjaman lunak yang menurut rakyat kecil banyak manfaatnya ini menjadikan usahanya merambah ke usaha lain seperti pupuk organik, pupuk kandang dan ia bisa memperbesar usaha kelontongan di kios miliknya.
Ia pernah mengikuti pelatihan mitrabinaan di Bogor, Jawa Barat yang diselenggarakan Perhutani saat itu. Kini, usaha keripik tempe “Jiyah” diincar beberapa perbankan untuk medapat kucuran kredit. Puluhan juta rupiah ditawarkan, tetapi perempuan perkasa itu belum bergeming dari PKBL Perhutani yang membantu dengan bunga yang sangta rendah dan proses yang tidak berbelit-belit. Hal inilah yang diidam-idamkan pengusaha kecil di kampung seperti dirinya.
Pemikiran wajar, ketika sebuah usaha berbuah, maka siapapun ingin mengembangkan usahanya hingga ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Meski hanya pengusaha kecil keripik tempe, tempe Jiyah asli dari Kedungjati.
 
Oleh: Soesi Sastro