Belakangan ini berita tentang penebangan liar menyurut, apa karena memang sudah berkurang atau mereka lebih canggih menyembunyikan pembalakan?
Ada dua alasan mengapa menyurut. Pertama, karena penegakan hukum keras. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di internasional. Penjualan kayu ilegal itu sulit. Ada standar legalitas kayu yang perlu dijelaskan asal-usulnya. Misal, pembeli dari Eropa mereka tidak mau beli kalau tidak ada sertifikat asal negara yang jelas. Contoh kalau kayu merbau tapi sertifikatnya dari Cina, itu kan tidak mungkin. Sebab, asalnya kayu ini cuma dari Indonesia.
Kedua, yang mau dilegalkan memang sudah berkurang jauh dari sebelum-sebelumnya. Para penebang kayu ilegal sekarang sudah kesulitan untuk mencarinya karena tempatnya yang sudah di dataran tinggi.
Apa yang Anda lakukan untuk mengatasi masalah penebangan liar ini?
Pertama, kita stop terlebih dahulu izin-izin untuk menebang pohon ini. Makanya, sekarang ada yang namanya letter of intent (LoI) dengan Norwegia yang tujuannya mengurangi emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan. LOI itu bukan buatan Norwegia, tapi kami yang mengisi sesuai visi kita.
Kedua, kita lakukan penanaman. Kami sudah melakukan penanaman secara besar-besar di mana ada tempat ataupun lahan yang kosong.
Ketiga dengan penegakan hukum. Saya dapat laporan, perambahan dilakukan baik oleh korporat ataupun rakyat. Namun, apa yang dilakukan oleh rakyat sebetulnya tidak terlepas dari bentuk ketidakadilan terhadap mereka, karena setiap konservasi, misal 10 ribu hektare semuanya untuk korporat tidak ada buat rakyat.
Nah, setelah kami pelajari ini penting. Jadi, sekarang kalau ada izin lahan, maka kita cadangkan dulu untuk rakyat. Kalau belum ada 500 ribu hektare buat rakyat maka saya tidak melayani pengusaha.
Cara bekerja seperti ini memang membuat pusing pengusaha. Mereka jadi gelisah. Tapi, bagaimana lagi kalau tidak dipaksa rakyatnya tidak kebagian. Kami mulai mencari dan akhirnya diperoleh dalam bentuk hutan tanaman rakyat sebanyak 700 ribu hektare.
Seberapa jauh kekuatan mereka sehingga bisa leluasa melakukan penebangan?
Untuk menegakkan semua ini memang tidak mudah. Kira-kira beginilah, saya pernah didatangi oleh satu tokoh masyarat, dia minta izin pembukaan lahan kebun sawit. Dia bilang sudah tiga tahun mengurusnya tapi sampai sekarang belum bisa. Lalu saya tanya, apakah di wilayah pohonnya? Dia jawab, “Iya pak banyak pohonnya.”
Saya lanjutkan pertanyaan berapa nilai (pohonnya)? Dia bilang, “Kalau Rp 300 miliar ada, jadi nanti kita bagi dua Pak,” kata dia. Mendapat iming-iming saya tidak tergiur. Saya katakan itu tidak boleh karena ada pohon walaupun berapa harganya.
Tentu ini beda dengan dulu yang boleh memilih di mana saja. Sekarang saya tidak mau itu, saya minta mereka menggambar dulu denah lahan yang dipakainya. Tapi, nanti kita yang menentukan, bukan mereka. Kita pilih mana yang bagus. Yakni, mencari kawasan yang sudah tidak ada hutannya. Jadi, totalnya itu ada 30 juta hektare.
Jadi, luas hutan yang sudah gundul itu sampai 30 juta hektare?
Ya, total lahan yang kritis itu 30 juta hektare. Inilah yang kami izinkan buat penanaman. Pada 2010 kita juga sudah lakukan penanaman hingga 1,6 juta hektare dengan jumlah batangnya mencapai 1,3 miliar.
Terkait penyediaan lahan 700 ribu hektare itu apakah masyarakat sudah memperoleh haknya?
Memang yang kita cadangkan itu sebesar 700 ribu hektare untuk rakyat. Namun, ini tidak mudah. Lahannya sudah dicadangkan tapi kendalanya di daerah. Dengan otonomi daerah ini, tanahnya harus diserahkan ke bupati (kepala daerah) jadi tidak saya lagi, kemudian secara teknis mereka yang membagikan.
Persoalannya, tanah ini dibagi ke rakyat jadi tidak ada komisi, ini membuat mereka malas. Lain lagi kalau bupati mau maju lagi di pilkada, mereka semangat. Sekarang dari 700 ribu baru 150 ribu hektare yang diserahkan. Semuanya berada di luar Jawa seperti Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Jadi, 150 ribu hektare itu dikelola bersama rakyat. Status kepemilikannya bukan sertifikat, melainkan izin. Tapi, izinnya cukup lama bisa sampai 60 tahun. Sementara sertifikat kan hanya 25 tahun. Meski sebetulnya bisa sertifikat, tapi status lahannya tetap tidak bisa dikonversi.
Jenis tanamannya tidak boleh untuk sawit, ini hanya untuk tanaman keras seperti pohon karet, sukun, ataupun damar. Kalau itu hutan produksi bisa ditanam sengon atau jabon. Saya yakin kalau setiap keluarga itu punya lahan lima hektare maka dia makmur. Apalagi kalau 15 hektare.
Sejauh mana komitmen Kemenhut sendiri untuk menyediakan lahan buat masyarakat?
Saya katakan sebagai pemerintah, kalau tidak membela rakyat lalu siapa lagi. Kita sekarang mendatangi dan membina mereka.
Sekarang ini saya dapat tambahan anggaran Rp 12 triliun. Dari Jumlah itu. Rp 3 triliun buat belanja pembangunan yang 100 persen buat rakyat. Ada dalam bentuk Hutan.
Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKN) atau kebun bibit rakyat. Pada 2010 telah dibangun kebun rakyat 8.016 unit dan pada 2011 akan dibangun 10 ribu unit lagi.
Kebijakan Anda juga tidak boleh menebang, lantas bagaimana nasib industri?
Kita kembangkan industri kayu berbasis hutan tanaman. Untuk menanam kan butuh waktu. Sementara sekarang masih ada izin-izin yang lama, saya kan tidak bisa cabut begitu saja. Nah itu yang dipakai untuk kebutuhan kayu. Sambil izin itu jalan, kita percepat penanaman, agar industri berkembang. Bukan dari hutan alam lagi tapi hutan tanam.
Sekarang itu sudah terbalik 60 persen hutan tanam dan 40 persen hutan alam. Target kita nanti itu hanya 8020 persen alam. Sehingga, nanti hutan alam itu hanya pelengkap. Kalau kita kembangkan hutan tanaman maka rakyat dapat pekerjaan. Jadi, slogan pro poor, pro job, dan pro environment itu benar-benar ada dan ekonomi pun tumbuh.
Terkait dengan perkembangan industri kertas seperti apa?
Memang, dulu saya juga tidak setuju Hutan Tanaman Industri (HTI). Dulu HTI itu kan ingin supaya kita tidak ada impor kertas, maka dibikinlah pabrik dan dikasih insentif. Mereka boleh meminjam uang dan diberi keleluasaan menebang kayu di mana-mana. Lama-lama insentif tidak dikasih. Tapi, menebang kayu tetap.
Nah zaman saya. Kalau saya stop nanti bisa tutup semua, padahal ada Rp 200 triliun investasi di kertas itu. Jadi, HTI tetap ada, tapi jangan menebang pohon lagi, harus menanam. Izin mereka sekarang masih ada sampai 2012, selain itu mereka harus menanam. Kalau menanam akasia kan murah. Jangka waktu lima tahun sudah bisa panen.
Salah satu visi tadi adalah penegakkan hukum bagaimana realisasinya?
Saya buat tim gabungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), polisi, dan jaksa, untuk memantau illegal loging. Kami juga tidak pandang bulu untuk menegakkan hukum. Tahun 2010 itu ada 90 kasus kami tangani dan yang ditahan sudah enam sampai tujuh orang. Ada juga warga Jerman yang terlibat di Sumatra. Padahal, dahulu selama lima tahun hanya satu orang.
Kemudian, kita juga meminta supaya semua hasil pekerjaan Kemenhut dinilai oleh pihak eksternal. Kalau saya yang mengukur nanti bagus semua. Tapi, masyarakat nanti tidak ada yang percaya. Lalu munculah yang namanya satgas Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). yang melakukan reporting, monitoring, verifikasi. Jadi, mereka REDD+ yang melihat apakah saya merusak hutan atau tidak.
Apakah cukup anggaran rehabilitasi saat ini?
Memang, untuk selamatkan cagar alam, semangat kita tinggi tapi anggarannya sedikit. Karena itu, jangan heran kalau saya bertemu dengan pengusaha, saya suka katakan ini dadaku mana dadamu. Saya datangi pengusaha-pengusaha, karena kawasan konservasi ini tidak mungkin hanya Menhut yang mengurusi. Kenyataannya sekarang yang terjadi di Aceh harimau hilang, gajah punah, burung punah karena kawasan yang rusak.
Contoh untuk Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (TNGHS) itu tidak mungkin mengandalkan anggaran dari kementerian. Misal anggaran Rp 2 miliar tapi yang diawasi itu 100 ribu hektare, tidak mungkin. Lalu saya pun mengajak PT Antam. Saya bilang Antam jangan cuma mengambil emas di situ. Kemudin mereka pun menganggarkan Rp 50 miliar. Jadi, mereka yang merawat dan menjaga kawasan.
Saya juga ajak PT Chevron, PT Djarum, PT Adaro, BRI. BRI meski tidak ada kaitannya tapi mereka mengambil tema (brand image) untuk prolingkungan. Mereka alokasikan anggaran cukup besar sampai Rp 10 miliar. PT Newmont dan PT Freeport juga saya datangi. Tapi, sayangnya PT Freeport ini belum ada respons.
Perusahaan lain juga akan diperlakukan serupa?
Nanti akan saya datangi yang lain-lain. Karena, dalam aturan perusahaan tambang itu mereka hanya mereklamasi yang dipakai saja. Menurut saya ini keterlaluan. Masak mengambilnya emas, tapi menukarnya hanya dengan pohon, kalaupun pohon ya harus satu provinsi. Saya bilang ke perusahaan-perusahaan itu kalau kamu tidak prolingkungan, nanti jika ingin memperluas saya pikirin dulu. Itu senjata saya dan ternyata takut juga mereka.
Sekarang ini pengusaha berlomba-lomba membantu pemerintah. Karena itu saya soal bibit sekarang tidak terlalu pusing. Swasta bahkan sudah mengalahkan BUMN. Kemudian, saya pun merapat lagi ke BUMN dan membuat MoU, saya bilang BUMN jangan kalah dengan.swasta, dan mereka gencar lagi sekarang melalui program corporate social responsibility-nya.
Bagaimana sosialisasi gerakan penanaman ke masyarakat?
Kita lakukan sosialisasi satu orang, satu pohon, satu bulan. Gerakan itu semacam imbauan agar orang sadar. Tapi, kita yang sudah konkret itu kemarin menanam 400 juta ditambah 100 juta, jadi total 500 juta bibit. Kemudian, swasta yang menanam hingga 400 juta.
Jika ditotal secara keseluruhan dari berbagai instansi yang ada realisasinya sampai dengan 31 Desember 2010 telah ditanam 1,39 miliar batang. Baik di kawasan hutan, hutan milik rehabilitasi kebun, atau reklamasi tambang serta beberapa tempat lainnya. Untuk daerah itu bibitnya antara lain.
Nama Media : REPUBLIKA
Tanggal : Rabu, 30 Maret 2011