SURAKARTA, PERHUTANI (29/09/2025) | Balai Kesenian Rakyat Desa Banyurip menjadi saksi gelaran Workshop Pengembangan Kampung Krowot, sebuah inisiatif yang menggali kembali kearifan pangan lokal berbasis umbi-umbian (25/09). Kegiatan ini digagas Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan bersama Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta, Pemdes Banyurip, dan sejumlah pemangku kepentingan.
Krowot atau krowotan merujuk pada pangan dari umbi-umbian seperti uwi, gembili, garut, ganyong, dan talas, yang sejak dahulu kala dikonsumsi masyarakat lokal, terutama saat tradisi puasa ngrowot di bulan Suro Jawa, yaitu berpantang makan nasi dan menggantinya dengan umbi. Tradisi ini kini dikontekstualisasikan sebagai model desa berdaulat pangan, memanfaatkan lahan marjinal untuk budidaya pangan sehat dan mengurangi ketergantungan pada beras.
Administratur Perhutani KPH Surakarta melalui Kepala Seksi Madya Pembinaan SDH, John Wahyudi Tri Susilo menegaskan bahwa program Kampung Krowot sangat relevan dengan visi kedaulatan pangan.
“Umbi-umbian adalah potensi besar yang sering terlupakan. Jika masyarakat mampu mengolah lahan hutan dan pekarangan dengan tanaman uwi, garut, atau ganyong, maka akan terbentuk pola pangan yang lebih sehat sekaligus memperkuat cadangan pangan lokal. Perhutani mendukung penuh transformasi ini karena sejalan dengan semangat konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat desa hutan,” ujarnya.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Banyurip Lestari, Jarwanto Tri Anggoro, menambahkan bahwa workshop ini menjadi titik balik bagi Banyurip. Pihaknya ingin Banyurip dikenal sebagai desa krowot, desa umbi-umbian.
“Selama ini masyarakat terbiasa menjadikan nasi sebagai pangan pokok, padahal nenek moyang kita punya tradisi ngrowot. Melalui workshop ini, kami menyiapkan kelompok tani untuk fokus menanam, mengolah, dan memasarkan produk pangan umbi. Kami yakin kalau desa bisa mandiri pangan dari apa yang kita tanam, maka Indonesia pun bisa berdaulat pangan,” katanya.
Workshop yang juga menghadirkan praktisi pangan lokal seperti Suparmi (KUPS Kembang Pilang), Wiji Lestari (Industri olahan janggan), Aisyah Sartini (KWT Makmur Karanganyar), dan Nilamsari (keripik tempe Benguk) ini menjadi ajang berbagi pengetahuan praktik produksi olahan. Ke depan, Banyurip diharapkan menjadi pionir desa pangan sehat berbasis umbi-umbian di Sragen, sehingga mampu menjadi model nasional. Semangat kembali ke pangan lokal inilah yang diyakini akan membawa bangsa Indonesia semakin dekat dengan kedaulatan pangan: makan dari apa yang ditanam sendiri. (Kom-PHT/Ska/Mar)
Editor: Tri
Copyright © 2025