SWA.CO.ID, BANDUNG (19/7/2016) | Para petani kopi di Jawa Barat, paling tidak yang tergabung dalam wadah koperasi Klasik Beans, tengah semringah. Hawa optimisme meruap dari hutan di sekitar Gunung Malabar, Ja-Bar. Dengan konsep agroforest yang diperkuat dengan penanaman puluhan varietas pohon kayu endemik Jawa dan pohon buah, kopi-kopi berjenis arabica yang ditanam menghasilkan kopi dengan kualitas tinggi.
Tak ayal, Klasik Beans mengepak sampai luar negeri. Whole Foods, Sweet Maria’s, Intellegencia & Four Barrels, adalah sebagian kecil dari pembeli kopi mereka. Klasik Beans mengekspor sekitar 90% dari kopi yang dihasilkan para petani yang tergabung dalam koperasi yang dibentuk formal pada 2011 itu. Volume produksi ekspor telah meningkat sebesar 100 kali menjadi 400 metrik ton sejak 2009. Sekarang bahkan permintaan kopi kepada Klasik Beans melebihi pasokan.
Adalah Eko Purnomowidi bersama delapan temannya yang menjadi pemantik keberhasilan para petani kopi di Ja-Bar. Mereka melakukan pendekatan kepada sejumlah petani dengan memberikan penyuluhan cara menanam dan merawat kopi hingga panen. Mereka juga mengajari petani konsep bertanam dengan agroforest sehingga kopi yang dihasilkan otomatis organik. “Kami membimbing petani memperbaiki rumahnya kopi. Rumah terbaik kopi adalah hutan. Jadi, kami perlu menerapkan konsep kebun agroforest, tidak ada pilihan lain. Dengan demikian, kopi ini otomatis organik. Di hutan tentunya tidak ada yang menyemprot pestisida. Dan, di hutan juga tidak ada hama penyakit, semua sehat,” papar Eko.
Konsep Klasik Beans mengajarkan kepada petani dan masyarakat umum bahwa kopi itu produk alami. “Kopi itu hidupnya di hutan bukan di kebun seperti kebun sayur,” katanya. Kopi harus ada pohon pelindungnya karena kopi arabica hanya butuh sinar matahari 40%. Untuk menanam pohon pelindungnya juga harus ada 16 varietas, tidak bisa hanya satu jenis. “Kalau cuma satu jenis, tidak akan saling mengisi, tingkat longsornya juga tinggi.” imbuhnya. Untuk menanam kopi, dibutuhkan waktu pembibitan selama delapan bulan. Waktu menanam bibit, mereka sudah menanam pohon pelindungnya juga sehingga dalam waktu 1,5-2 tahun kopi sudah berbuah dan pohon pelindungnya juga sudah mulai tinggi.
Cikal-bakal Klasik Beans berangkat dari keprihatinan Eko atas kondisi para petani kopi. Ia tergerak hatinya saat melihat petani di daerah Gunung Malabar membeli bibit kopi dengan harga yang mahal. Bibit 1 kg dibanderol Rp 250.000. “Ini pembodohan. Bibit kopi tidak perlu membeli, melainkan bisa berbagi dari petani kopi lain. Waktu itu saya melihat petani disuruh membeli dengan embel-embel sertifikat tidak jelas,” katanya.
Maka, bersama delapan temannya, pada 2008, Eko sepakat mengajarkan kepada para petani cara menanam dan mengolah kopi dengan baik sehingga menghasilkan kopi yang berkualitas. Menurutnya, delapan temannya adalah anak-anak gunung yang berpengalaman sebagai relawan bencana alam sehingga paham medan dan kondisi hutan. Bahkan, beberapa dari mereka adalah instruktur di SAR. Sementara Eko sendiri, selain anak gunung, juga memiliki pengalaman bekerja di perusahaan kopi di daerah Lintong, Sumatera, sejak tahun 2000. “Saya sempat memberikan penyuluhan mengenai kopi di Sumatera. Saya belajar otodidak, saya belajar dari pengalaman. Karena saya senang tanaman dan alam, jadi tidak begitu sulit. Saya juga suka baca-baca buku mengenai kopi,” tuturnya.
Klasik Beans awalnya dibangun semata untuk advokasi bagi para petani kopi. “Awalnya, kami tidak dagang. Kami hanya berpikir untuk mengajarkan membuat forestasi kepada petani,” ungkap Eko, yang tahun ini berusia 48 tahun. Mereka kemudian melakukan workshop untuk petani. “Hanya ada tiga petani yang mengikuti workshop ketikaitu,” katanya. Setelah itu, mereka mulai melakukan pembibitan yang memakan waktu hingga delapan bulan. Pada saat bersamaan, pemerintah tengah gencar mendukung petani untuk menanam kopi di dataran tinggi karena selama ini wilayah pegunungan dipakai untuk menanam sayur. “Ide ini saya akui sangat bagus karena kalau ditanami sayur, akan terjadi longsor,” ujarnya.
Yadi Mulyadi, yang juga penggagas Klasik Beans, menambahkan bahwa kegiatan advokasi mereka adalah mengenai penanaman, reboisasi, edukasi budaya kopi. “Anggotanya ya petani di sekitar hutan,” kata Yadi. Diakuinya, keberadaan mereka juga tidak serta-merta disambut dengan tangan terbuka. “Mereka pikir kami tahu apa tentang kopi,” tambahnya. Menurutnya, sebagai petani tradisional, mereka agak sulit diyakinkan supaya mau menerima cara-cara modern. Karena itu, Eko dan teman-teman mengawali dengan melakukan sendiri di tanah garapan yang disewa. “Mereka lihat hasilnya dan mau bergabung,” kata Yadi.
Hanya setahun setelah memulai dengan hanya beberapa puluh petani, kini sudah ada ribuan petani yang bergabung dalam koperasi Klasik Beans. Penghidupan petani pun mulai meningkat. Eko menjelaskan, peningkatannya tidak bisa dirata-ratakan karena setiap petani hasilnya berbeda. “Kira-kira bisa mencapai Rp 50-70 juta per tahun per petani,” katanya. Selain cara menanam kopi, mereka juga mengajarkan efisiensi dana, misalnya untuk pembuatan kompos. Menurut Eko, awalnya para petani membuat kompos di rumah lalu dibawa ke kebun. “Dalam setahun akan memakan uang banyak untuk biaya transportasi. Akhirnya, kami menyarankan untuk membuat kompos di kebun dengan cara berkelompok dengan petani lainnya.”
Menurut Yadi, sebelum mereka masuk, harga kopi hanya Rp 2.000/kg. Saat ini paling rendah Rp7.000/kg. Selain itu, para petani kini sudah mau mengurus lahannya. “Kami juga bertanggung jawab untuk membeli, kami punya pengolahan sendiri. Namun, kami tidak mengikat petani untuk menjualnya kepada kami,” katanya. Ia menandaskan, pihaknya dan para petani memiliki kewajiban yang sama, yakni menjaga lingkungan kopi tempat tumbuh. Sementara manfaat bagi petani, selain kehidupan yang menjadi lebih baik, juga memiliki lingkungan yang lebih baik. Contohnya, dulu, air di daerah tersebut tidak bisa diminum karena ada minyaknya sehingga para petani mengandalkan mata air di lembah-lembah. Selang tiga tahun, setelah adanya hutan pelindung untuk kopi, airnya menjadi bersih dan bisa diminum. “Karena, di wilayah tersebut ditanami pohon-pohon yang beragam. Keuntungan lain, petani menjadi sehat karena tidak menggunakan pestisida maupun pupuk kimia.”
Badiel Bads, salah satu petani yang tergabung dalam Klasik Beans, mengaku banyak hal yang didapat sejak bergabung empat tahun silam. “Kami diajari cara menanam kopi, membuat kompos hingga konservasinya. Kami juga diajari membuat kopi yang sehat dan merawat hutan, membuat jalur air. Kami diajari mulai dari menanam, panen, hingga mengolah kopinya,” papar Badiel yang sebelum terjun sebagai petani kopi membangun usaha jual-beli alat-alat kegiatan outdoor. Ia menambahkan, selama ini keuntungan yang diperoleh dari hasil panen kopi cukup stabil. “Harganya jauh dari tengkulak,” imbuhnya. Buah ceri kopi dihargai Rp 6.000-7.000/kg, sedangkan di tengkulak hanya Rp 2.000/kg. “Kebetulan saya mempunyai lahan satu hektare yang ditanami 1.000 pohon kopi,” katanya.
Selain Badiel, saat ini Klasik Beans memayungi seribuan petani di Ja-Bar. Mereka juga memberikan peyuluhan kepada petani kopi di Sumatera, Bali, Sulawesi. Namun, masih sebatas pilot project. “Jumlah anggota kami juga bertambah terus, namun ada juga yang dikeluarkan, “ kata Eko. Aturan main di Klasik Beans sangat ketat. Kalau ada anggota yang memakai pestisida dan pupuk kimia, tak ada kompromi: langsung dicoret dari keanggotaaan koperasi. Tahun ini, ada sekitar 30 petani yang dikeluarkan. “Kami ingin membuat kopi yang berkualitas, bukan minuman racun. Karena minuman ini akan diminum oleh orang, jadi harus bersih. Hutan sebagai rumah kopi juga harus bersih,” tambahnya.
Para petani kopi yang tergabung dalam Klasik Beans tidak melulu petani tulen, bahkan ada yang berprofesi dokter. “Kalau dia punya lahan dan ingin bergabung silakan, syaratnya ya tidak meracun, tidak pakai pupuk kimia dan merawat hutan. Jadi, kalau datang dengan pikiran mau kaya, jangan datang pada kami. Kami tidak hitung per uang yang diterima, kami lebih melihat hasil untuk alam sendiri, perbaikan-perbaikan hutan dan fungsinya,” Eko menjelaskan.
Menurut Eko, sampai saat ini ada ribuan hektare lahan di Ja-Bar yang dipakai untuk rumah kopi. Ada yang milik petani sendiri dan milik Perhutani. “Anggota kami yang merupakan masyarakat setempat di wilayah Perhutani tersebut yang menggarapnya itu,” katanya. Untuk para petani yang memiliki lahan sendiri juga dibatasi tidak boleh lebih dari 2 ha. Jenis kopi yang ditanam lebih banyak arabica, meski robusta juga ada. “Biji kopi arabica dari hutan ini membuat tenar nama Klasik Beans di antara para pembeli kopi khusus alias specialty coffee,” katanya.
Dengan total lahan ribuan ha itu, menurutnya, jumlah produksi sangat tergantung pada musim hujan dan kemarau. “Kami tidak memfokuskan kepada volume, karena fokus kami hanya mengurus kebun kami agar baik dan sustainable,” ujarnya. Ia menandaskan, produknya bukan produk masal, melainkan produk berkualitas. Selain itu, agak sulit juga menghitungnya karena anggota koperasi bebas menjual ke mana saja. “Prinsip kami forestasi saja, kami hanya memfasilitasi,” ungkapnya.
Penjualan langsung ditangani petani. “Pembeli datang dan berhubungan langsung,” kata Eko. Begitu pun buyer dari luar negeri. “Mereka datang dan mencoba kopinya,” imbuhnya. Sementara untuk memasarkan, mereka sering mengikuti pameran-pameran di luar negeri seperti di Prancis dan Amerika Serikat. “Kami tidak membawa nama Klasik Beans namun membawa nama kopi Indonesia,” katanya. Yadi menambahkan, pihaknya sudah mengekspor ke sejumlah negara di lima benua. “Penjualannya kepada orang yang sudah kenal, misalnya ada teman kami yang tinggal di sana, lalu tertarik pada kopi, dia akan menjadi distributor di negara tersebut,” tambahnya.
Eko menjelaskan, selama ini pembagian keuntungan kepada koperasi tidak ada. Para petani hanya membayar iuran. Iuran itu pun dipakai untuk keperluan bersama seperti membuat kompos. Adapun untuk Perhutani, petani membayar 15%, pembangunan desa 5% dari hasil panen. “Hasilnya juga disetorkan langsung dari masing-masing petani kepada Perhutani,” katanya.
Selama hampir sewindu menjalankan Klasik Beans, kendalanya lebih pada sosialisasi dan penyuluhan. “Lokasinya jauh-jauh. Untuk menyampaikan ide, setidaknya harus sering bertemu langsung. Mungkin ini yang menjadi kesulitan bagi kami,” kata Eko. Selama ini, mereka bersembilan secara bergiliran memberikan penyuluhan. Paling tidak seminggu sekali melakukan pertemuan dengan para petani.
Target mereka sendiri lebih pada keberadaan hutan dataran tinggi di Indonesia tetap terjaga kelestariannya. “Itu komitmen kami,” Eko menandaskan. Selain itu, mereka ingin merangkul anak muda untuk mau masuk pertanian. “Supaya tanah-tanah ini tidak dimiliki oleh perusahaan-perusahaan,” katanya.
Karena itu, dalam waktu dekat, mereka akan membuat sekolah alam di Bandung. “Untuk mengajarkan mengenai alam kepada anak-anak serta budaya-budaya yang ada Indonesia,” katanya. Konsepnya, sekolah-sekolah umum akan datang ke sekolah alam mereka, kemudian diajari menanam padi atau budidaya lainnya. “Tujuan kami, menitipkan Tanah Air kepada anak-anak muda yang kelak menjadi generasi penerus kami,” kata Eko.(*)
Tanggal : 19 Juli 2016
Sumber : Swa.co.id