Berangkat dari keprihatinan, Untung Sutrisno bertekad mengubah lahan kritis menjadi lahan hijau dan produktif. Ia berjuang menyelamatkan lingkungan yang sudah rusak akibat penjarahan masyarakat. Tugas Untung bukan hanya itu, melainkan sekaligus menggugah kesadaran masyarakat untuk bersahabat dengan alam.
Di awal perjuangan, Untung merelakan sepertiga dari gajinya untuk membiayai kegiatan ini. Sepuluh tahun berjalan, perjuangan Untung membuahkan hasil yang manis. Ia berhasil mengurangi lahan kritis di Bondowoso dari sekitar 54.000 hektar menjadi 12.000 hektare.Bagaimana kisah selengkapnya? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan peraih penghargaan MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014 kategori Bidang Lingkungan ini saat dijumpai di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Apa yang membuat Anda tergugah untuk melestarikan lingkungan hingga rela menyisihkan sepertiga gaji?
Semua ini berangkat dari kegalauan dan perenungan atas berbagai peristiwa yang terjadi. Pada 2000, pohon seenaknya ditebang sehingga menyebabkan lahan di Bondowoso hancur. Era reformasi menjadi masa dilema karena masyarakat merasa hutan menjadi milik mereka. Oleh karena itu, mereka merasa bisa menjarah hutan semenamena.
Penjarahan ini mengakibatkan hutan menjadi rusak. Terlebih, pada 2005 terjadi longsor dan banjir di Bondowoso yang menghancurkan Kota Situbondo. Artinya, lahan di Bondowoso itu kritis karena minim lahan resapan dan gundulnya hutan. Dari banyak mendengar, saya menjadi peduli dan berkomitmen untuk pelestarian lingkungan. Hal yang terpikirkan oleh saya yaitu melakukan penghijauan dan antisipasi ketersediaan air. Untuk mengatasi dua persoalan ini, saya mulai menanam bibit pohon. Pada 2005 saya mulai bergerak. Meski tidak punya latar belakang perkebunan, bagi saya hal tersebut bukan kendala. Saya yakin bahwa semua ilmu bisa dipelajari asal ada kemauan dan kesungguhan. Maka, saya pun belajar secara autodidak. Sejak saat itu saya menyisihkan sepertiga gaji untuk membeli bibit. Saya pun mulai mengedukasi masyarakat, kalangan pondok pesantren, dan masyarakat pinggir hutan mengenai penghijauan.
Sejak kapan Anda terpikirkan untuk berkontribusi lewat perkebunan?
Saya pensiun sebagai PNS pada 2008, namun sejak 2004 sudah mulai memikirkan apa yang bisa dilakukan seusai pensiun. Berdasarkan kebutuhan masyarakat dan alam, saya memutuskan untuk menjadi petani kebun. Maka pada 2006, saya mendirikan LSM bernama Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Sosial Masyarakat (LP2SM) yang beranggotakan 25 orang. Anggotanya terdiri dari masyarakat pinggiran hutan dan pemimpin pondok pesantren yang tersebar di Bondowoso. Kami bertekad menanami lahan kritis sehingga menjadi lahan hijau dan produktif. Melalui lembaga ini, kami secara sukarela melakukan pendampingan terhadap masyarakat pinggir hutan terkait penghijauan hutan gundul dan edukasi lingkungan. Kami juga mencoba mengubah mindset masyarakat agar beralih ke budi daya tanaman produktif. Saat ini sudah tersebar kelompok peduli lingkungan di 23 kecamatan di Bondowoso. Saat melakukan penanaman kembali, kami bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Di antara 23 kecamatan tersebut, LMDH sudah ada di 18 kecamatan.
Mengapa Anda menganjurkan masyarakat melakukan pendampingan agar menanam pohon produktif seperti buahbuahan?
Hal ini dimaksudkan agar pohon yang telah ditanam tidak ditebang oleh masyarakat. Jika mereka diberikan bibit pohon kayu seperti sengon, mahoni, atau jabon, maka saat pohon tersebut besar, ada kemungkinan akan ditebang untuk dijual. Oleh karenanya, kami memberikan masyarakat bibit tanaman produktif seperti buahbuahan. Dengan begitu, saat bibit tersebut tumbuh menjadi pohon besar dan berbuah, masyarakat hanya akan memanen buahnya. Sementara pohonnya tetap berdiri kokoh karena tujuan kami mengubah lahan kritis menjadi produktif. Meski begitu, saya tidak melarang masyarakat menanami lahannya dengan bibit pohon kayu yang bisa dijual. Hal terpenting adalah penghijauan guna mengubah lahan kritis menjadi produktif. Tujuan dari penanaman beraneka jenis bibit supaya bisa menjaga kesinambungan kawasan tebang dan kawasan hijau.
Apa kendala Anda saat memulai semua ini?
Banyak. Saya tidak punya lahan atau modal yang banyak. Satu-satunya yang saya punya hanya keinginan mengubah lahan tandus menjadi lahan hijau. Untuk mencapai keinginan tersebut, saya menjual tabungan berupa delapan ekor sapi untuk dibelikan lahan seluas dua hektar. Penjualan satu ekor sapi lain dibelikan kendaraan pick up untuk mengangkut bibit. Sulitnya mendapatkan bibit mengharuskan saya membeli ke kota tetangga. Jumlahnya masih sangat sedikit. Sebagian bibit ini ada yang langsung saya tanam, ada juga yang dikirim ke berbagai pondok pesantren dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar mereka pun mulai menanam.
Apakah sekarang Anda masih kesulitan mendapatkan bibit?
Perlahan mulai banyak lembaga yang menyumbang bibit pohon kepada masyarakat. Seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Bondowoso dan Balai Pengelolaan (BP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Bondowoso yang juga menyumbang banyak bibit pohon kepada masyarakat luas. Kami pun turut mendistribusikan bantuan bibit pohon dari Dishutbun dan BP DAS tersebut.
Terkait antisipasi ketersediaan air bersih, bagaimana cara Anda menanggulanginya?
Saya bersama pemimpin pondok pesantren di Wringin, Bondowoso, membuat pipanisasi sepanjang 3,5 kilometer. Melalui pipa ini, kami menyalurkan air dari sumber mata air ke rumahrumah masyarakat. Air tersebut berasal dari kawasan hutan yang sebelumnya gersang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merawat lingkungan di sumbersumber mata air. Sekarang, masyarakat Wringin sudah bisa menikmati air bersih.
Apa yang membuat Anda yakin terus melakukan ini?
Saya mengikuti kata hati. Sebelum semua terlalu terlambat, kita harus bisa mengubah sikap dan perilaku terhadap alam. Jika kita merusak hutan, sama saja mengancam keberlangsungan makhluk hidup, termasuk kita sendiri. Misalnya saja air, jika tidak dijaga, maka air akan menjadi barang yang langka. Kita harus cepat bertindak agar terhindar dari berbagai bencana. Sudah sepatutnya kita memelihara dan mencintai lingkungan. Dengan menanam pohon, kesejahteraan masyarakat meningkat, terhindar dari bencana, sekaligus menjaga fungsi hutan terhadap kebutuhan makhluk hidup. Kebaikan yang kita tanam akan berbalik kepada kita.
Bukankah sulit untuk mengubah perilaku masyarakat?
Ya, bahkan saya sempat dikatakan orang gila. Mereka menganggap apa yang saya lakukan sia-sia. Masyarakat juga banyak yang enggan menanam, tapi setelah terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan, mereka justru berebut untuk menanam. Hal ini karena mereka sudah merasakan sendiri manfaatnya. Untuk mengajak masyarakat menanam, saya melibatkan para kyai dari pesantren. Hal ini karena kyai merupakan tokoh agama yang strategis. Saya bersama masyarakat dan kalangan pesantren bekerja sama untuk memastikan bahwa bibit tersebut betul-betul ditanam.
Seberapa efektif penanaman pohon ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Setelah pensiun, saya menikahkan dan menyekolahkan anak hingga jenjang strata 2 dari uang pohon. Matematikanya, satu hektar tanah dengan jarak dua meter bisa menampung 2.000-2.500 pohon kayu. Dalam lima tahun, 2.000 pohon tersebut bisa menghasilkan Rp200 juta. Jika penebangan ditunda sampai tujuh tahun, maka bisa mencapai Rp300 juta. Itu jika memakai tanah masyarakat. Jika memakai tanah pemerintah, ada kesepakatan kerja sama dengan Perhutani, biasanya 40% Perhutani, 50% penanam, dan 10% ke LMDH. Sementara untuk pohon tanaman produktif, hasilnya bisa dipanen untuk dijual. Dengan begitu, ada keseimbangan antara ekologi dan ekonomi sehingga hidup kami sejahtera dan berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.
Selama rentang 10 tahun upaya Anda melestarikan lingkungan, pencapaian apa saja yang sudah terasa hingga saat ini?
Pada 2005, lahan kritis yang ada di Bondowoso mencapai 54.000 hektar. Saat ini lahan kritis yang tersisa sekitar 12.000 hektare. Kini Bondowoso juga sudah tidak mengalami siklus banjir dua tahunan. Bondowoso pun dinobatkan menjadi situs terbaik se- Jawa Timur pada 2014. Kebutuhan air bersih 15.000 warga di lima desa kini bisa terpenuhi. Dari sisi perekonomian, masyarakat kini menjadi lebih sejahtera. Pencapaian ini bukan karena diri saya sendiri. Melainkan banyak pihak yang turut aktif, berkomitmen, dan bersinergi untuk melakukan penghijauan.
ema malini
Sumber : Koran Sindo
Tanggal : 18 Januari 2015