EDIT 1LAWU DS, PERHUTANI (20/9/2016) | “Untuk mewujudkan perusahaan yang unggul dalam penggelolaan hutan lestari,  tidak hanya sebatas mengatasi kasus pencurian kayu dan penggelolaan hutan bersama masyarakat, melainkan harus memperhatikan lingkungan kawasan bernilai konservasi tinggi”, Hal itu disampaikan Administratur Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Lawu Ds, Nanang Sugiharto pada kegiatan konsultasi publik terkait FSC Controlled Wood dan High Conservation Value Forest (HCVF)  Rabu (14/9).

“Mengenai planet kita tentunya mengelola sumber daya hutan secara lestari. Kemudian mengenai people atau masyarakatnya, bagaimana kami meningkatkan manfaat pengelolaan sumber daya hutan ini bagi seluruh pemangku kepentingan. Kemudian mengenai   profit tentunya kami juga menyelenggarakan bisnis kehutanan dengan prinsip good corporate governance” tambahnya.

Nanang Sugiharto mengaku, mengelola hutan pada KPH Lawu Ds pihaknya mengacu  lima prinsip yakni, melakukan penebangan secara legal, pada penebangan kayu menghindari hak-hak sipil dan hak tradisional, tidak melakukan penebangan pada kawasan konservasi bernilai tinggi, tidak mengkonversi hutan primer dan tidak menebang hutan tanaman dari trasnsger.

Sementara Ketua Pokja PHL KPH Lawu Ds yang juga Wakil Administratur, Adi Nugroho  mengungkapan bahwa sumber daya hutan yang ada di KPH Lawu Ds terdapat ekosistem yang tidak terputus dari puncak hingga bawah gunung, seperti air yang cukup melimpah serta terdapat tegakan atau pohon yang berusia hingga ratusan tahun. Menyikapi kondisi hutan seperti itu, pihaknya melakukan identifikasi dan meningkatkan pengelolaan hutan dengan melibatkan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) supaya dapat dinikmati oleh semua pihak.

“Tentu kami mengkaji ataupun  mengidentifikasi tentu kita untuk mengetahui apa saja yang ada diwilayah KPH Lawu Dsini   terkait dengan nilai konserevasi tingginya. Yang kedua bagaimana  membangun strategi pengelolaan kami menggunakan prinsip pendekatan bersama masyarakat untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi baik situs budaya, mata air, kebudayaan, keberadaan hutan lindung KPS, kemudian yang ketiga membangun sistim monitoring,” Adi Nugroho menjelaskan.

Dibagian lain pada closing proses konsultasi publik, Rektor Universitas Merdeka Madiun, Rahmanta Setiahadi pada kajiannya mengungkapan, KPH Lawu harus melakukan sertifikasi. Hal itu dikarenakan semua sistim pasar (marketing) dan produk kita sudah masuk lingkaran kapitalisasi.

“Nah salah satu dampak dari proses itu adalah adanya yang tuntutan apa yang disebut  grade ekonomi. Ini adalah sebuah alasan klasik negara-negara maju yang ketika kondisi lingkungannya sudah rusak maka mereka menekan negara-negara berkembang untuk mempertahankan kawasan hutannya. Sehingga grade ekonomi ini hanya ditekankan kepada negara-negara yang memiliki hutan luas, salah satunya Brazil dan Indonesia,” tandasnya.

Rahmanta Setiahadi menegaskan, Indonesia tidak bisa melepas dari teori itu karena produk-produk Indonesia merupakan bagian devisa yang cukup penting. Selain itu Indonesia berkometmen mengurangi  emisi  gas rumah kaca melalui program REDD dan FLEGT  (Forest Law Enforcement Government and Trade). (Kom-PHT/Lwds/EkoSantoso)

Editor:  Dadang K Rizal

Copyright©2016