Sindo Weekly, Jakarta – Lagi dan lagi, kabar mengejutkan datang dari satwa di Tanah Air. Setelah belakangan ini beberapa satwa di Kebun Binatang Surabaya mati, kini muncul peringatan akan punahnya salah satu satwa khas Indonesia. SEBUAH pukulan telak bagi Indonesia saat muncul kabar matinya sejumlah hewan di Kebun Binatang Surabaya belakangan ini.

Mulai dari kematian tak wajar seekor singa karena terlilit kabel, lalu disusul dengan kematian komodo dan rusa. Sekarang Indonesia dihadapkan dengan peringatan akan punahnya macan tutul Jawa. Kabar beruntun tersebut seolah menjadi lembaran awal tak sedap di tahun Kuda Kayu ini. Macan Tutul Jawa (panthera pardus melas) yang merupakan salah satu satwa khas asli Indonesia ini tengah menghadapi “zona kiamat” jika tak segera di tangani dengan cepat.

Bagaimana tidak,hewan karnivora ini bisa saja menemani kerabatnya, yaitu harimau Jawa yang lebih dulu dinyatakan punah. Sejak harimau Jawa (panthera tigris sundaica) atau Javan Tiger dinyatakan punah pada 1980-an, macan tutul Jawa menjadi satu-satunya kucing besar yang masih hidup di Pulau Jawa. Nasib suram yang menimpa harimau Jawa diperkirakan tidak akan lama lagi akan menghampiri macan tutul Jawa,bilamana manusia hanya diam dan pihak terkait seperti pemerintah tidak memberi perhatian khusus untuk menjaga kelestarian fauna tersebut.

Kini, macan tutul Jawa masuk kategori critically endangered (kritis) dalam daftar spesies-spesies terancam milik Badan Konservasi Alam Internasional atau IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan juga berada dalam kategori apendiks 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) yang memiliki ketentuan untuk melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam, dari segala bentuk perdagangan. Kondisi kritis keberlangsungan hidup macan tutul ini diduga kuat bukan hanya akibat tingkat perkawinan dan perkembangbiakan alami yang rendah, melainkan juga diduga karena semakin menyempitnya habitat yang menjadi alasan di balik ancaman kepunahannya.

Hingga kini, tidak ada data pasti mengenai jumlah macan tutul atau leopard yang hidup liar di tanah Jawa ini. Sepanjang 2011-2013 lalu, tercatat sembilan pertemuan manusia dengan macan tutul Jawa. Enam ekor di antaranya kini terpaksa hidup di penangkaran. Seekor mati terkena jeratan babi di Jawa Tengah. Sejumlah aturan hukum sebetulnya sudah dibuat guna melindungi satu dari sembilan keluarga macan tutul di dunia ini. Mulai dari Surat Keputusan Menteri Pertanian No.421/Kpts/Um/8/1970, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 hingga PP No.7 Tahun 1999, namun perlindungan tetap belum jadi perhatian penting pemerintah dan pihak terkait.

Padahal satwa ini bahkan punya posisi istimewa karena ditetapkan sebagai fauna identitas daerah Jawa Barat sejak 2005. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa hingga saat ini tingkat ancaman terhadap macan tutul Jawa cukup tinggi. Menurutnya, ancaman tersebut ditandai dengan semakin hilangnya habitat alami, fragmentasi habiMACAN TUTUL JAWA. DI ZONA KIAMAT tat serta menurunnya satwa mangsanya. “Sekarang populasi macan tutul Jawa ini tidak lebih dari 500 ekor baik jenis hitam maupun tutul, yang tersebar di Pulau Jawa,” tuturnya kepada SINDO Weekly awal pekan ini.

Zulkifli menjelaskan, keberadaan satwa langka tersebut di alam sangat tergantung pada kondisi habitat dan kelimpahan mangsa, terutama kijang, rusa, babi. dan kancil. Selain itu, lanjutnya, kehilangan habitat yang diikuti dengan sering terjadinya konflik antara manusia menyebabkan sebagian besar berakhir dengan kematian satwa ini. Karenanya, dia menyatakan bahwa upaya konservasi satwa serta habitatnya tersebut harus menjadi prioritas. Misalnya, kawasankawasan hutan yang ada di Pulau Jawa selain di kawasan konservasi antara lain yang dikelola Perhutani, katanya, diharapkan dapat menjadi salah satu tempat yang aman dan memadai bagi kelangsungan populasi macan tutul Jawa.

“Kita sudah kehilangan salah satu satwa karismatik Jawa, yakni harimau Jawa, jadi jangan sampai hal ini juga terjadi pada macan tutul Jawa,” imbuhnya. Cegah Kepunahan Ancaman punahnya macan tutul Jawa bukan karena perburuan. Menurut salah satu peneliti WWF, Sunarto, perburuan terhadap satwa ini relatif sedikit.

Justru is memperkirakan banyaknya konflik atau gesekan menyebabkan populasi mereka berkurang. “Konflik tersebut dimungkinkan akibat habitat teritorialnya makin sempit, ditambah persaingan dengan yang lebih muda. Dengan demikian, yang tua tersisih dan harus migrasi ke wilayah lain karena kalah dalam saingan perburuan. Hal ini menyebabkan mereka yang kalah keluar dari kawasan dan bahkan bisa masuk ke pemukiman warga,” katanya. Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Kebun Bina tang Seluruh Indonesia (PKBSI), Tony Sumampau.

Belakangan ini, kata Tony, sudah ada sekitar tiga konflik antara macan tutul dengan manusia di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. “Selain itu, terbatasnya pakan juga menjadi salah satu faktor utama konflik sekaligus faktor penurunan populasi macan tutul,” katanya. Terbatasnya pakan, lanjut Tony, menyebabkan mereka harus keluar habitat untuk mencari makan di pemukiman penduduk yang biasanya memiliki hewan peliharaan seperti anjing, ayam, dan lainnya.

Celakanya, hal tersebut menjadi salah satu kekhawatiran baru. “Hewan peliharaan yang dimangsa macan belum bisa dipastikan sehat. Apabila terjangkit penyakit, maka akan menular kepada macan tersebut serta bisa menularkan kepada kawan-kawannya. “Kalau ini terjadi. ancaman kepunahan akan semakin lebih cepat dan berbahaya.” imbuh Tony. Hal itu pernah terjadi pada seekor macan tutul di Ujung Kulon. Banten. Macan yang ditemukan penduduk dalam kondisi terjerat, terjangkit penyakit Acanto Chetala yang disebabkan cacing-cacing parasit yang merusak usus.

Penyakit tersebut tidak ada obatnya sehingga menyebabkan satwa ini mati. Karena itu, upaya penyelamatan yang serius dan terpadu sangat diperlukan untuk mencegah macan tutul senasib dengan harimau Jawa. Menurut Tony, ada sejumlah upaya yang saat ini bisa terus dilakukan, seperti metode ex-situ dan in-situ. Metode in-situ adalah upaya pengamatan hingga penyelamatan yang dilakukan di lingkungan habitat aslinya. Sementara, ex-situ merupakan kegiatan serupa namun dilakukan di luar habitatnya. “Misalnya, satwa yang ditemukan kemudian dibawa ke taman satwa untuk penangkaran.

Makanya dengan konsep ex-situ, ada upaya penyelamatan populasi yang ada di alam. Kalau tidak ada ex-situ. bisa dikatakan tidak ada cadangan untuk menunjang papar pengelola Taman Safari Indonesia ini. Pola ex-situ untuk macan tutul Jawa sudah dilakukan sejumlah kebun binatang yang ada di Pulau Jawa. Di Taman Safari Indonesia (Bogor) ada 11 jantan dan 4 betina. Kebun Binatang Ragunan (Jakarta) 1 betina, Taman Sari (Bandung) ada sepasang. Selain itu di Cikembulan (Garut) ada 7 jantan dan 1 betina. di Solo ada 1 jantan, di Sukabumi ada 3 jantan 1 betina dan beberapa penangkaran di kebun binatang lainnya.

Sementara, pola dilakukan melalui penangkaran lewat kerja sama dengan Perhutani di wilayah Jawa. Sehingga, menjadi habitat baru bagi macan tutul, apabila ancaman populasi di habitat lamanya semakin besar. “Draft strategic plan pola ini sudah ada, semoga dalam satu hingga dua bulan ke depan Kementerian Kehutanan dapat menandatanganinya sehingga lembagapemerhati satwa baik di tingkat pemer, intah maupun swadaya masyarakat dapat memiliki sistem yang baik dalam pelestarian macan tutul Jawa,” pungkas Tony. ?

Sindo Weekly | 14 Februari 2014 | Hal. 36-37