Polemik tentang perdagangan rotan mentah dari dulu hingga sekarang seolah tidak ada habisnya. Pro dan kontra kebijakan tata niaga komoditas ini sering kali muncul ke permukaan dan menjadi topik hangat, tetapi tak lama kemudian tenggelam begitu saja. Sudah cukup banyak kebijakan yang dibuat untuk mengatur perdagangan rotan mentah ini, tetapi sejauh ini tidak mampu memberikan solusi permanen.
Isu yang satu ini terus timbul dan tenggelam dari waktu ke waktu karena esensi masalahnya tidak pernah dituntaskan. Memang tidak mudah membereskan masalah yang di dalamnya terdapat tarik-menarik antara kepentingan sektor hulu dan hilir, terlebih melibatkan petani. Di negeri ini, hampir segala komoditas yang melibatkan kepentingan petani selalu menjadi ruwet penyelesaiannya, seperti gula yang melibatkan petani tebu, atau beras yang terkait dengan petani padi.
Pada industri rotan, di sektor hilir berdiri pengusaha furnitur rotan yang menggantungkan kelangsungan proses produksinya pada pasokan bahan baku rotan dari dalam negeri. Sementara itu, para pemain di sektor hulu-yang notabene melibatkan petani dan pengumpul rotan–cenderung lebih suka menjual rotan men tah ke luar negeri, terutama ke China. Gampang dapat uang dan tak perlu repot melakukan proses nilai tambah.
Akibatnya, ekspor rotan mentah dalam volume besar telah membuat sentra-sentra industri furnitur kesulitan bahan baku yang menyebabkan sejumlah produsen berhenti produksi dan pegawainya kehilangan pekerjaan. Oleh sebab itu, langkah pemerintah yang melarang ekspor rotan mentah mulai 1 Januari 2012 sudah benar adanya, agar peningkatan nilai tambah dapat dilakukan di dalam negeri.
Namun, kebijakan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Pemerintah harus melanjutkannya dengan segera mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan dan kinerja industri furnitur sehingga pasokan rotan dapat terserap dengan baik. Terkait dengan peningkatan nilai tambah domestik, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk memacu perkembangan desain furnitur.
Selain itu, petani harus mulai diberikan pelatihan tentang teknik pengolahan agar rotan yang dihasilkan semakin berkualitas sehingga harganya lebih tinggi. Kebiasaan menjual rotan mentah tanpa proses nilai tambah harus perlahan dihentikan. Apabila dari sisi hulu petani mampu memasok rotan dengan kualitas yang semakin baik, sedangkan dari sisi hilir industri furnitur mampu menciptakan desain bermutu, maka harga produk akhir juga semakin tinggi dan berdaya saing. Pada gilirannya, daya beli pengusaha furnitur rotan di dalam negeri atas bahan baku yang dipasok petani juga lebih kuat sehingga kesejahteraan petani ikut meningkat.
Terkait dengan harga rotan di pasar domestik yang menurut kalangan petani tak semenarik di luar negeri, pemerintah dapat menjembatani dengan mendirikan sentra-sentra jual beli rotan. Model ini sudah diterapkan di sektor perkayuan di mana Perum Perhutani membangun apa yang disebut sebagai Warung Kayu sebagai pusat jual beli kayu. Langkah ini ditempuh setelah pemerintah melarang ekspor kayu gelondongan.
Di Warung Kayu ini level harga sepenuhnya ditentukan oleh tingkat kualitas. Ada baiknya pemerintah mencoba menerapkan model pasar dan sistem jual beli tersebut karena karakter permasalahan di sektor perkayuan dan rotan memiliki sejumlah kesamaan.
Bisnis Indonesia :: 23 Februari 2012, Hal. 2