Tanaman kacang, cabai, singkong, dan sebagainya tumbuh di sela-sela pohon jati yang berdiri tegak di Dusun Jepang. Model tanaman ini merupakan bagian dari program tumpang sari di dusun yang terletak di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, itu.
“Berat memang menjaga hutan dari kerusakan,” ujar Hardjo Kardi, 73 tahun, tokoh Dusun Jepang, yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo, akhir September lalu. Masyarakat di dusun ini dikenal peduli terhadap lingkungan.
Mereka patuh pada ajaran Samin, yang menghormati tata kelola lingkungan. Itu terbukti ketika terjadi penjarahan hutan jati besar-besaran pada 2000-2002. Warga justru ikut membantu menjaga hutan, pun tidak mencuri kayu di hutan. Mereka sebagian ikut melakukan kerja sama dengan pihak Perhutani dengan program Lembaga Masyarakat Desa Hutan bagi mereka yang tinggal di pinggir hutan.
Kini sebagian masyarakat di Dusun Jepang memanfaatkan lahan hutan untuk kebutuhan hidup, diantaranya dengan program tanaman tumpang sari itu. Penghijauan di perkampungan relatif terjaga. Padahal Dusun Jepang sebagian besar merupakan tanah berkapur, kering, dan tandus. Tapi, berkat kesadaran masyarakat yang tetap membudidayakan tanam pohon jati dan mahoni, sumber air terjaga.
Hal ini tidak lepas dari peran Hardjo Kardi, yang kakek buyutnya, Samin Surosentiko, adalah pendiri ajaran Samin di Bojonegoro. Mbah Harjo–sebutan warga untuk Hardjo Kardi–kerap mendatangi rumah warga untuk memberi contoh agar rakyatnya tidak sembarangan menebang pohon jati di hutan. “Kalau hutan rusak, masyarakat sendiri yang susah,” ucapnya.
Di sektor pertanian, di Desa Jepang, masyarakat Samin juga berinisiatif membuat dan menciptakan sumber-sumber mata air. Mata air yang sudah ada, atau sendang, dilestarikan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tidak boleh mengeksploitasi mata air untuk diperjualbelikan. Mata air digunakan secukupnya, baik untuk pengairan pertanian maupun air minum.
Menurut Hardjo, masyarakat Samin menyadari rusak-tidaknya isi dan kekayaan alam di bumi bergantung pada cara pemakainya. Mereka tidak mengeksploitasi tanah sawah, dan bercocok tanam sesuai dengan musimnya. Petani di Kampung Samin tidak mau menebar benih (bercocok tanam) tiga kali dalam setahun. Jelasnya, musim hujan menanam padi, dan jika kemarau, menanam palawija.
Masyarakat Samin juga melarang mencari ikan dengan cara meracun di Bengawan Solo. Mereka lebih memilih mencari ikan dengan wajar : memancing atau menebar jaring untuk menangkap ikan secukupnya.
Maka pemerintah tak ragu lagi akan komunitas masyarakat Samin di Dusun Jepang. Pihak Perhutani di Bojonegoro dan Ngawi juga kerap menjalin kerja sama dan memberi bantuan ke kampung ini. Terakhir, misalnya, program Tanam Satu Miliar oleh Kementerian Kehutanan, yang salah satunya berlokasi di perkampungan.
Menurut Camat Margomulyo, Yayan Rohman, lingkungan hutan di Margomulyo relatif masih terjaga. Masyarakat di Dusun Jepang, kata dia, masuk kategori yang sadar akan pentingnya masa depan hutan, peduli terhadap kelestarian lingkungan. “Ini sikap masyarakat di desa yang bisa menjadi teladan,“ ujar Yayan.
Nama Media : KORAN TEMPO
Tanggal           : Kamis, 6 Oktober 2011/h. A13
Penulis            : Sujatmiko
TONE               : POSITIVE