Situasi klasik masih menjadi tantangan masyarakat yang tetap mengusahakan lahan pertanian. Selain luasnya yang terbatas, secara umum, pengusahaan komoditas belum juga memunculkan nilai tambah. Kini harapan barn muncul seiring dengan kemitraan sistem agroforestry kemitraan dengan masyarakat yang dilakukan BUMN HL I.
Sistem ini, diantaranya, sudah dilakukan di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung yang merupakan salah satu wilayah DAS Citarum. Pola usaha masyarakat petani setempat yang secara umum masih bertanam sayur dan palawija dicoba diubah agar lebih bermanfaat ganda, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Menurut Adang Rahman, Ketua Kelompok “Rumpun Saluyu Makmur” Desa Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. sejak banyak yang ikut serta dalam kemitraan, harapan warga untuk memperoleh peluang pendapatan lebih dari lahan milik semakin besar. Setidaknya ada perubahan dari sebelumnya, yakni masyarakat banya mengandalkan usaha dari bertanam sayuran, yang barga jualnya pun diketahui sering “berjudi nasib”.
Disebutkan, selama ini, masyarakat mengidam-idamkan kemunculan usaha yang memiliki nilai tambah dari lahan-lahan milik mereka. Banyak pula yang sebelumnya pesimistis. Apalagi, kepemilikan lahan masyarakat banya berkisar 0,2-0,5 hektare.
Di sisi lain, masyarakat setempat pun masih terpola usaha secara tradisional. Mereka hanya bertanam lalu menjuaI hasilnya sesuai dengan harga yang ditetapkan bandar dan tengkulak. Dengan munculnya usaha secara agroforestry terpadu yang diikuti kemampuan manajemen pengelolaan lebih baik, usaha produksi dan industri terpadu yang diberikan BUMN HL I diharapkan bisa membesarkan hati masyarakat atas munculnya berbagai peluang bisnis serta daya tawar pasar lebih baik oleh masyarakat.
“Masyarakat kini menjadi semakin menyayangi lahan pertanian yang dimiliki, berbeda di masa lalu jika ada gerakan penanaman dari pemerintah berikutnya tak ada kelanjutan lagi”. Melalui potensi pengembangan usaha berbasiskan agroforestry di lahan masyarakat, peluang pendapatan lebih tinggi dan pasti sudah terbayang, karena masyarakat diantar sampai berhasil,” ujar Adang.
Ia mernbandingkan dengan keadaan masa lalu. Banyak anggota masyarakat mudah menjual lahan miliknya, baik saat kepepet perlu uang atau sering frustrasi hasil usaha tani yang senantiasa berbadapan dengan ketidakpastian. Akhirnya, lahan-lahan milik masyarakat beralih kepemilikan kepada pembeli dari luar daerah, terutama dari kota yang kemudian banyak dijadikan bangunan, penggalian pasir, dan sebagainya.
Pada akhirnya pula, uang hasil penjualan lahan tersebut menjadi habis tak jelas. Kalaupun beralih usaha ke perdagangan atau membuka warung atau toko, usaha sejenis kini semakin banyak saingan dan banyak yang kemudian gagal. Pengangguran baru pun muncul.
Pengamat bidang kehutanan dari Bandung, NP Adnyana mengatakan bahwa muncul, berkembang, dan semakin majunya sejumlah laba agroforestry masyarakat yang ditinjau produk jadi akhirnya akan memulai berbagai serapan tenaga kerja tani di pedesaan dengan rantai sampai ke perkotaan. Paling tidak, banyak warga perdesaan memperoleh pemasukan dari upah kerja, munculnya usaha-usaha kecil-menengah produk olaban berikut tenaga kerja, agen pemasaran, koperasi berikut karyawannya, dan sebagainya Hal ituIah yang dapat memberdayakan masyarakat setempat.
Produk-produk usaha kayu rakyat pun kini terus naik harganya jabon, misalnya Harganya kini sudah mencapai Rp 2 juta per meter kubik. Sementara albasia mencapai Rp 1,3 juta per meter kubik, dengan masa tebang saat tanaman berumur 5-7 tahun. Harga ini juga terdorong setelah Perum Perhutani, sejak Februari, membeli banyak produk-produk kayu rakyat.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha PT BUMN HL I, Ali Rahman, memberikan gambaran usaha gula aren bagi masyarakat jika dijadikan pokok sebanyak 100 pobon per hektare, diselingi MPTS 80 pobon per hektare, dan kopi 220 pobon per hektare. Jika dikelola baik dan benar oleh petani, produksi gula aren dapat menghasilkan pendapatan bersih sesuai dengan harga saat ini, yakni mencapai Rp 16,8 juta untuk setiap seperempat hektare.
Menurut Ali, jika dihitung populasi pohon aren sebanyak 100 pohon per hektare, dalam setahun, dapat dihasilkan sadapan 112.500 liter untuk setiap enam bulan, Diperoleh pula dua belas persen rendemen dikalikan minimal 25 hari produksi per bulan. Setelah dikalikan lagi enam bulan produksi dengan harga gula aren saat ini yang mencapai Rp 7.500 per kilogram, pendapatan yang diraih mencapai Rp 101,250 juta per enam bulan.
“Walau kepemilikan laba masyarakat rata-rata hanya 0,25 hektare, setelah dikonversi per luas lahan dan per bulan, populasinya 25 pohon. Setelah dikalkulasi, produksi gula aren menghasilkan pendapatan Rp 16,8 juta per bulan,” ujamya.
Disebutkan, besarnya potensi agrobisnis dan agroindustri pohon aren terlihat dari studi banding ke Cipongkor (Kabupaten Bandung Barat), Gunung Kareumbi (Kabupaten Bandung), dan Sibolga (Sumatra Utara). Masyarakat setempat ternyata cukup mapan pendapatannya dari usaha pobon aren walau pengelolaan usaha dinilai masih perlu ditingkatkan.
Dikatakan pula, pobon aren memi1iki pula peran dalam pelestarian lingkungan sebagai penahan longsor. Apalagi, pembudidayaan pobon aren dapat dilakukan pada lahan-lahan terjal dengan kemiringan tajam sehingga bermanfaat ganda bagi konservasi dan ekonomi.
la mengingatkan, orang Sunda dapat menerapkan falsafah lama para kokolot dalam penerapan kehidupan sehari-hari berkaitan dengan pemulihan lingkungan di Jabar. Apalagi, kultur masyarakat Sunda diketahui masih sangat identik dengan kehidupan agraris, meliputi bertani, berkebun, hutan, membudidayakan ikan, berternak, dan sebagainya. Mengusahakan pohon-pohon aren pun termasuk ke dalam salah satu kultur lama itu. “Falsafahnya, Tungkul ka paculeun tanggah kasadapan (menunduk ke cangkulan, menengadah kepada sadapan) yang merupakan falsafah Ki Sunda untuk sebuah etos kerja masyarakat agraris. LaIu, Moal ngakeul lamun teu ngakal (tak akan makan jika tak berusaha), yaitu falsafah Ki Sunda dalam membangun dan mengembangkan kreativitas berfikir untuk menghasilkan karya terbaik bagi peradaban,” kata Ali.
Nama Media : PIKIRAN RAKYAT
Tanggal : Senin, 9 Mei 2011 hal 25
Penulis : Kodar Solihat
TONE : NETRAL