SURAKARTA, PERHUTANI (31/08/2025) | Industri getah pinus di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, kini menghadapi tantangan serius. Di satu sisi, permintaan resin alami untuk kebutuhan farmasi, kosmetik, hingga industri kertas meningkat pesat. Namun di sisi lain, regenerasi penyadap berjalan lambat, tenaga kerja makin terbatas, dan metode manual sering menimbulkan kelelahan fisik serta hasil yang kurang optimal.
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) melalui Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara menjadi salah satu lokasi yang bergerak cepat mengadopsi alat sadap mekanis sebagai jawaban atas persoalan klasik tersebut. Mekanisasi diharapkan bukan hanya menaikkan produktivitas hingga 20%, tetapi juga meringankan beban penyadap yang selama ini menjadi garda terdepan penyediaan bahan baku getah pinus di KPH Surakarta.
Administratur KPH Surakarta melalui Kepala BKPH Lawu Utara, Sartono, menekankan bahwa adopsi alat sadap mekanis bukan sekadar proyek uji coba. Perhutani melihat ini sebagai investasi jangka panjang. Dari pengukuran awal, efisiensi kerja naik sekitar 18%, dengan waktu tempuh penyadapan yang berkurang hingga sepertiganya.
“Lebih penting lagi, pohon lebih sehat karena luka sadap lebih terkendali. Jika pola ini konsisten, Lawu Utara bisa menjadi rujukan nasional dalam mekanisasi penyadapan pinus,” ungkapnya. Ia menambahkan, Lawu Utara menargetkan produksi getah tahun 2025 bisa menembus 120% dari target RKAP berkat kombinasi teknologi dan disiplin kerja penyadap.
Edi Riyadi (37), penyadap asal Tlogodlingo, tak bisa menyembunyikan rasa leganya. Ia mengungkapkan bahwa dulu menyadap 20 pohon saja rasanya sudah seperti menguras tenaga seharian. Sekarang dengan alat baru bisa sampai 30 pohon tanpa terlalu capek.
“Hasil getahnya juga lebih banyak dan lebih bersih. Saya jadi bisa pulang lebih cepat, masih ada waktu untuk anak-anak. Ini bukan cuma soal pendapatan, tapi juga kualitas hidup,” ujarnya.
Dari kabut tipis Lawu Utara, mekanisasi memberi sinyal perubahan. Pekerjaan penyadap menjadi lebih manusiawi, pohon tetap lestari, dan produksi meningkat. Jika program ini meluas, bukan mustahil Lawu Utara menjadi pionir nasional: hutan pinus yang lestari, penyadap yang sejahtera, dan industri resin Indonesia yang makin kuat bersaing. (Kom-PHT/Ska/Mar)
Editor: Tri
Copyright © 2025