SOLOPOS.COM (31/05/2022) | Di Dukuh Ngrancang, Desa Jekawal, Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen, terdapat situs berupa Punden Ngrancang. Punden ini diyakini menjadi saksi bisu perjuangan Pangeran Mangkubumi melawan penjajah Belanda dalam Perang Mangkubumen pada 1749-1757.

Di dukuh ini juga terdapat situs Kandang Majapahit yang menjadi tempat pemerintahan darurat Pangeran Mangkubumi. Selain itu, tempat tersebut juga dipercaya menjadi lokasi perjodohan Raden Mas Said dengan Bendara Raden Ayu Suminten yang tidak lain putri Pangeran Mangkubumi.

Sayangnya, situs ini tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen. Padahal lokasi tersebut menjadi salah satu tonggak awal dalam Sejarah Hari Jadi Sragen.

Sebagaimana dijelaskan dalam situs organisasi.sragenkab.go.id, Pangeran Mangkubumi memindahkan pusat pemerintahan darurat (keraton ing alaga) dari Gebang, Kecamatan Masaran, ke Jakawal, Kecamatan Tangen. Pasalnya, lokasi Gebang sudah tercium kompeni dan Patih Pringgalaya.

Dalam perjalanan menuju ke Jekawal itulah Mangkubumi mampir di padepokan Kiai Srenggi. Di padepokan itu, Mangkubumi mendapatkan wasiat legen dan palawija yang kemudian dikenal dengan sebutan pasrah legen.

Sesampainya di Jekawal, Pangeran Mangkubumi mengambil menantu Raden Mas Said yang juga dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa untuk dikawinkan dengan putrinya B.R.Ay. Suminten.

Seorang juru kunci Punden Ngrancang, Sukiyo, menjelaskan nama Ngrancang diambil dari kegiatan Pangeran Mangkubumi merancang strategi dalam perlawanan melawan Kompeni. Dia menjelaskan merancang itu dalam bahasa Jawa disebut ngrancang. Sehingga setelah zaman keramaian atau rejaning zaman, wilayah itu diberi nama Dukuh Ngrancang sampai sekarang.

“Tempat Pangeran Mangkubumi merancang strategi dengan bermusyawarah dengan punggawanya untuk melawan Belanda kala itu sampai sekarang ada tanda berupa gundukan tanah dan beberapa tunggak pohon jati. Tunggak itu dulu diberi kandang kayu tetapi sekarang sudah lapuk dimakan rayap. Tempat itu oleh simbah-simbah dulu disebut Kandang Majapahit,” jelas Sukiyo, kepada Solopos.com, Selasa (31/5/2022).

Dia menerangkan di Ngrancang inilah tempat Pangeran Mangkubumi memerintah setelah di Sragen dianggap tidak lagi aman karena dekat dengan jalur perlintasan pasukan kompeni Madiun-Solo. Lokasi punden Ngrancang itu masuk di lahan Perum Perhutani. Tetapi masyarakat setempat masih bisa melakukan sedekah bumi atau sadranan di punden itu setiap Jumat Legi.

“Jadi setelah merancang itu Pangeran Mangkubumi berjalan ke Dukuh Jekawal yang disana ada tokoh yang bernama Anggajaya yang sekarang masih ada makamnya. Saya tidak tahu peranan Eyang Anggajaya itu,” ujarnya.

“Kalau lokasi punden Ngrancang itu di areal seperempat hektare tetapi areal sakralnya hanya 10 meter persegi. Di sana ada tunggak kayu jati. Sedekah bumi masih dilakukan setelah panen karena menjadi cikal bakal Dukuh Ngrancang,” jelasnya.

Bagian Sejarah Sragen
Sukiyo menerangkan punden Ngrancang ini merupakan bagian dari Sejarah Hari Jadi Sragen. Tetapi, sampai sekarang perhatian Pemkab Sragen belum ada. Dia mengatakan masyarakat Ngrancang khususnya, meminta kepada Pemkab Sragen untuk membangun dan melestarikan situs itu agar tidak hilang dari sejarah Pemkab Sragen.

“Tidak perlu ada sarasehan di Ngrancang, tetapi paling tidak ada perbaikan tempat. Minimal kalau kandangnya rusak bisa diperbaiki atau dibenahi oleh Pemkab Sragen. Selama ini belum ada perhatian sama sekali dari Pemkab Sragen. Pemdes Jekawal mau membangun tetapi lokasinya masuk wilayah Perhutani sehingga desa tidak berani membangun. Kalau makam Eyang Anggajaya sudah dibangun desa,” jelasnya.

Sumber : solopos.com

Tanggal : 31 Mei 2022