JAWAPOS.COM (21/08/2022) | Prasasti Batu Gong atau yang tertulis dalam papan nama yang dibuat oleh pihak Perhutani Situs Watu Gong bisa dilihat di Dusun Kaliputih Desa Rambipuji Jember. Tepatnya di kanan jalan di wilayah jatian milik Perhutani, tak jauh dari simpang tiga jalan menuju ke arah Balung. Prasasti berupa batu itu diletakkan di sebuah gazebo atau pondok kecil.

Menurut Pembina Yayasan Boemi Poeger Persada, Y. Setiyo Hadi, prasasti batu gong pertama kali ditemukan di puncak bukit di dekat lokasi keberadaannya sekarang. Sehingga, tak heran jika masyarakat sekitar bahkan mesin pencarian di Google Map sering menyebutnya Gumuk Gong. Ditemukan oleh W.F. Stutterheim dan H.R. Heekeren berkebangsaan Belanda pada Desember 1933. Pada saat itu, mereka sedang melakukan peninjauan di ujung timur Jawa untuk mencari temuan-temuan benda purbakala.

Laporan mengenai temuan tersebut, kata dia, diabadikan dalam dokumentasi foto yang diambil oleh Claire Holt, pendamping Stutterheim dan Heekeren. Selain itu, juga dituliskan dalam laporan hasil kunjungan dalam sebuah buku dengan judul Oudheidkundige Aanteekeningen XLVI: De oudste inscriptie van Oost-Java. Pada masa itu, Indonesia masih dalam kuasa Belanda.

Diketahui bahwa ciri-ciri yang tampak dari prasasti tersebut menandakan bahwa manusialah yang membentuknya. Dari hal itu, kata pria yang akrab disapa Mas Yopi, memperlihatkan unsur kebudayaan masyarakat pada saat itu yang telah mengenal aksara. “Bentuk yang besar (colossus) menunjukkan sebagai tradisi Megalitik (mega berarti besar dan litik berarti batu) yang bercampur Klasik,” paparnya.

Berdasarkan pantauan Jawa Pos Radar Jember, batu yang disebut-sebut sebagai prasasti batu gong itu sangat besar. Tingginya melebihi setengah badan orang dewasa. Khas peninggalan zaman Megalitikum atau batu besar. Sehingga penemunya cukup mudah melihatnya dari pinggir jalan kala itu. Di sisi kanannya terdapat tulisan pendek yang beraksara kuno.

Yopi mengungkapkan bahwa batu tersebut tergolong batu andesit dalam bentuk alami. Saat dilakukan pengukuran oleh tim peneliti Stutterheim, tercatat tingginya 120 cm dengan panjang 170 cm. Permukaannya halus dan memiliki kerucut yang menonjol ke permukaan, kira-kira 20 cm dengan bidang dasar berbentuk lingkaran berdiameter antara 60 sampai 65 cm. Tetapi, kerucutnya tidak berbentuk lingkaran.

Era pembuatan prasasti tersebut, terang Yopi, antara abad 7 Masehi sampai abad 8 Masehi. Menurutnya, kesimpulan itu ditarik karena Stuterheim menduga ada hubungannya dengan berbagai aktifitas manusia yang hidup sebelum tahun 760 Masehi di Jawa Timur.

Kemiripan tersebut, lanjutnya, cukup kuat dengan prasasti Canggal dari tahun 732 Masehi dan Toek Mas dari tahun 650 Masehi. “Usianya jauh sebelum adanya Kerajaan Majapahit, bahkan sebelum adanya Kerajaan Tumapel atau Singasari,” tutur pria yang juga merupakan Pemandu Wisata Sejarah dan Budaya Jember.

Jenis aksara yang tertulis dalam prasasti batu gong adalah huruf Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Tertulis lima aksara di salah satu sisinya. Dia mengatakan, Stutterheim (saah satu penemu batu gong) menyusun huruf tersebut dan mendapatkan bacaan Parvvateswara. Diartikan sebagai Bergheer yang memiliki arti Penguasa Gunung atau Dewa Gunung.

Pemberian nama batu gong ini menurut Yopi karena bentuk tonjolannya mirip dengan alat musik gong yang juga memiliki sebuah tonjolan di tengah. Sampai saat ini, dilihat dari bentuknya, prasasti batu gong masih otentik (tidak berubah) seperti saat pertama kali ditemukan. “Dilihat dari isi dan bentuk otentik sebagai sumber primer,” jelasnya. Akan tetapi, tempatnya sudah berubah dari lokasi awal yang dipindah ke bawah Gumuk Gong.

Sumber : jawapos.com

Tanggal : 21 Agustus 2022