bisnisindonesia3janBISNIS INDONESIA (3/1/2017) | Sekarang ini, negara dengan biaya produksi gula termurah adalah India, Iebih murah dari harga rata-rata gula dunia. Di sana, pemerintahnya amat mendukung pembangunan pabrik gula terintegrasi sehingga industri gula yang lahir adalah perusahaan-perusahaan besar, mapan, dan multiproduk.
Untuk dapat menekan harga gula, industri turut memproduksi bioethanol, biogas, dan listrik yang dapat dipasarkan dengan harga menggiurkan. Gula justru menjadi produk sampingan sehingga dapat dijual dengan harga lebih murah. Harga gula di Negeri Bollywood tidak sampai Rp 5.000 per kilogram.
Di Indonesia, kebutuhan gula konsumsi dipenuhi hampir seluruhnya oleh PG BUMN yang sudah terlanjur single product, sehingga harganya cukup tinggi saat sampai di konsumen. Sulit mencari upaya menekan harga karena memang mesin-mesinnya sudah cukup tua.
Kalangan pengamat pergulaan kerap menyebut pabrik gula milik BUMN yang sudah tua tersebut tidak akan efisien jika hanya direvitalisasi. Perlu ada investasi pabrik baru dengan rata-rata kebutuhan dana Rp 1.5 triliun – Rp2 triliun jika memang ingin mencapai efisiensi.
Kementerian BUMN tengah melakukan studi untuk regrouping pabrik gula. Pabrik ditata kembali sehingga tidak ada yang kapasitasnya di bawah 4.000 TCD dengan target biaya produksi mencapai Rp 6.500 per kilogram.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menyampaikan rencana efisiensi pabrik gula dilakukan terutama dengan menata ulang beberapa pabrik gula yang lokasinya berdekatan.
“Kapasitas PG akan kami arahkan ke minimal 4.000 TCD dan prinsipnya pabrik-pabrik yang berdekatan, radius 50-100 km, yang kecukupan bahan bakunya rendah, dan biaya produksinya tinggi, sena kapasitasnya rendah, akan dianalisis untuk penataan ulang”, jelas Wahyu pada Bisnis.
BEBAN BIAYA
Kementerian BUMN menilai pabrik-pabrik yang lokasinya berdekatan, jika dioperasikan semua, justru akan membebani biaya produksi sehingga harus ada yang dimaksimalkan kapasitasnya dan harus ada yang operasionalnya dihentikan.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, saat ini 17% dari total pabrik gula BUMN berkapasitas produksi di bawah 2.000 TCD. Sebanyak 58% berkapasitas 2.000-1.000 TCD, sedangkan hanya 25% yang kapasitas produksi gula konsumsinya di atas 4.000 TCD.
Direktur Utama PTPN ID Elia Massa Manik dalam paparannya mengenai kinerja perusahaan awal bulan ini menyebut studi soal PG tutup masih dilakukan dan ditargetkan dapat selesai pada awal 2017.
“Kalau kita lihat, produksi dari on farm kita memang masih kurang, arealnya berkurang. Efisiensi pabrik juga jelek sehingga perlu ada regrouping ini. Ini masih kami pelajari. Kami harap Februari atau Maret sudah selesai studinya,” kata Elia.
Secara agregat, PTPN III Holding masih mencatatkan kerugian pada tahun ini yaitu sebesar Rp226 miliar.
Nilai ini lebih rendah dari kerugian tahun lalu yang mencapai Rp 613 miliar. Adapun, sektor gula merupakan penyumbang revenue terbesar kedua setelah kelapa sawit yaitu Rp7.8 miliar.
Berbagai upaya telah dilakukan PTPN untuk mendongkrak produksi gula yang tahun ini hanya mencapai 22 juta ton. Bisnis mencatat pada semester pertama tahun ini, PTPN melakukan konversi 30.000 ha lahan komoditas lain yang tidak produktif, menjadi lahan tanam tebu.
Selain itu, Direktur Keuangan PTPN III Holding Erwan Pelawi mengatakan pihaknya pun tengah menjajaki kerjasama Lahan dengan Perhutani, untuk memperluas areal tanam tebu yang pabriknya berada tidak jauh dari area hutan yang dikuasai oleh Perhutani.
Erwan mengaku tidak ingat rincian lahan yang dapat dikerjasamakan dengan Perhutani, namun luasannya lebih dari 6.000 ha.
“Dengan Perhutani, kami sudah diskusi dan sudah susun MoU-nya. Tinggal sekarang kami lihat lahannya yang mana, kita studi di situ. Sekarang ini masih menunggu studi regrouping dulu, nanti kita lihat apa yang terbaik yang dapat dilakukan,” ungkap Erwan pada Bisnis.
Sumber: Bisnis Indonesia, hal. 10
Tanggal: 3 Januari 2017