Porang awalnya tidak lebih dari tumbuhan liar yang lazim ditemukan di sela-sela pepohonan hutan di Madiun, Jawa Timur. Terinspirasi sifat tumbuh dan nilai ekonominya, warga setempat membudidayakan tanaman ini di balik rimbunnya tegakan pohon di hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, warga tak perlu lagi menebang pohon di area hutan.
Hasil panenan umbi porang (Amorphopallus onchopillus) yang bisa diekspor sudah cukup melimpah untuk ukuran kebutuhan hidup masyarakat di tepian hutan milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Saradan tersebut. Sinergi antara Perhutani dan warga untuk menanam porang secara masif sejak awal tahun 2000 bahkan dengan sendirinya bisa menekan angka pencurian kayu di hutan.
Perhutani, salah satu pemilik kawasan hutan di Madiun, mencatat, tindak kriminal paling menonjol di kawasan hutan adalah pembalakan liar. Pada tahun 2005, jumlah kayu yang dicuri mencapai 17.893 meter kubik dengan nilai kerugian Rp 4,6 miliar. Tahun 2006,  jumlah itu turun menjadi 12.238 meter kubik dengan nilai kerugian Rp 2,222 miliar.
Fakta menunjukkan tren positif. Namun, pemangku kepentingan amat menyadari bahwa alangkah arif jika tindakan represif diubah ke arah yang makin produktif. Perhutani mengubah strategi dengan pendekatan persuasif. Masyarakat tepian hutan digandeng dan dilibatkan dalam menjaga keamanan hutan. Mereka diberdayakan dalam wadah yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Awalnya, LMDH hanya dilibatkan dalam patroli penjagaan hutan, tetapi hal itu tidak efektif. Perambahan hutan masih saja terus terjadi.
Ketua LMDH Sumber Wono Lestari Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Tulung, Miftahudin (50), tetap memperbolehkan masyarakat untuk mengambil hasil hutan sepanjang itu sesuai kebutuhan hidup mereka.
”Tidak hanya kayu yang diambil, tetapi semua yang ada di hutan yang laku dijual akan diambil seperti daun jati, madu hutan, daun obat-obatan, hingga aneka satwa hutan. Kalau kayu, itu hampir semua penduduk (mengambil),” ujarnya akhir Mei 2011 lalu.
Akar masalah
Akar permasalahan adalah ekonomi. Masyarakat desa sekitar hutan bisa dibilang tak punya pekerjaan tetap, tetapi mereka butuh makan. Situasi inilah yang pada akhirnya membuka mata Perhutani yang dulu ”memonopoli” menjadi siap berbagi kawasan hutan dengan masyarakat desa.
Apalagi, ini bukan sekadar hitung-hitungan kerugian materi dari hasil penjualan kayu ilegal. Ada persoalan yang lebih besar, yakni ancaman kerusakan hutan yang kian nyata. Itu berarti pula kematian bagi seluruh makhluk hidup termasuk manusia, satwa, dan plasma nutfah.
Intinya, masa depan Kabupaten Madiun yang luas wilayahnya mencapai 101.086 hektar amat dipertaruhkan pada kelestarian hutan. Pasalnya, lebih 60 persen wilayah kabupaten tersebut berupa kawasan hutan.
Data pemda setempat menunjukkan, lebih separuh dari 769.497 penduduk Kabupaten Madiun berdiam di tepian hutan. Praktis, tingkat ketergantungan terhadap hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat tinggi. Jangankan untuk membangun rumah, untuk kebutuhan makan pun harus bersumber dari hutan.
Pihak Perum Perhutani dan pemangku kepentingan senantiasa menyosialisasikan bahwa hutan bisa diibaratkan tandon air raksasa yang mampu menghidupi jutaan jiwa dan juga paru-paru dunia yang mampu memberikan napas bagi segala makhluk. Sebaliknya, hutan juga bisa menjadi sumber bencana banjir bandang dan tanah longsor yang berisiko mengubur peradaban manusia.
Pada awalnya, LMDH yang diizinkan menggarap lahan di bawah tegakan tanaman Perhutani bertanam bahan pangan seperti padi, jagung, ketela, dan palawija. Namun, hasil pertanian yang dikembangkan kurang memuaskan. Penyebabnya, tanaman pangan dan palawija memerlukan sinar matahari penuh dalam proses tumbuh kembangnya, sedangkan lahan yang disediakan ternaungi pohon inti seperti jati, sonokeling, sengon, dan pinus.
Supaya tanaman hidup, petani yang ”nakal” nekat menebang pohon. Alhasil, kelestarian hutan kembali terancam. Ditambah lagi, hasil penggarapan ladang tidak maksimal karena hanya bisa dilakukan pada musim hujan sebab sistem irigasinya berpola tadah hujan. Pada musim kemarau, masyarakat desa hutan kembali kesulitan mencari penghidupan sehingga terpaksa ”meminta” dari hutan.
Ekonomi-sosial
Ide untuk menanam porang tak lepas dari pertimbangan ekologis. Tumbuhan ini cocok untuk tumbuh kembang di bawah tanaman tegakan hutan. Di samping itu, porang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial dalam rangka pengembangan dan pelestarian hutan.
Umbi porang laku dijual. Saat ini harganya menembus Rp 2.500 per kg basah atau baru petik. Umbi porang kering atau chips porang dihargai lebih mahal lagi, Rp 20.000 per kg. Masih ada yang lebih mahal yakni tepung porang. Namun, kemampuan masyarakat belum sampai ke sana sehingga teknologi pembuatan tepung masih dikuasai pabrik besar.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Perum Perhutani KPH Saradan Ida Alfiyanti mengatakan, luas areal panen porang tahun 2010 mencapai 815 hektar dari total kawasan hutan yang dikelola KPH Saradan 7.000 hektar. Produksi porang mencapai 2.721 ton atau membukukan pendapatan minimal Rp 5,442 miliar dengan asumsi harga porang Rp 2.000 per kg.
Ida menyebutkan, tahun 2011 direncanakan penambahan luas area tanaman porang di kawasan hutan seluas 188 hektar dengan rincian BKPH Pajaran seluas 125 hektar, BKPH Tulung seluas 52,2 hektar, dan BKPH Kedungbrubus 10,6 hektar.
Target produksi tambahan yang diharapkan dari perluasan area tanaman porang 2011 mencapai 1.100 ton dengan rincian BKPH Tulung 104 ton, BKPH Kedungbrubus 74 ton, serta BKPH Pajaran 922 ton. Adapun penambahan pendapatan diprediksi mencapai Rp 2,5 miliar.
Jaga kelestarian
Nilai sosial porang sendiri bagi Perhutani adalah mengajak masyarakat menjaga kelestarian hutan. Alasannya, porang akan berkembang dengan baik bila mendapat naungan pepohonan 70 persen. Konsekuensinya, masyarakat akan memerangi penebangan kayu hutan demi menghidupkan tanaman porangnya.
Analisis tersebut tidak dibantah oleh Miftahudin. Ayah dari Kepala Desa Sumberbendo Arif Efendi ini mengatakan, sejak mengenal porang, masyarakat antusias menggarap hutan. Mereka pun berbondong-bondong mendaftar sebagai anggota LMDH.
Pada awal budidaya tahun 1992, hanya enam orang yang mau menanam porang. Sekarang anggota LMDH Sumber Wono Lestari mencapai 1.400 keluarga dengan luas lahan yang dikelola mencapai 2.000 hektar di kawasan BKPH Tulung. Dari luasan itu, baru 400 hektar yang digarap dan hampir semuanya ditanami porang.
Bagi warga Desa Sumberbendo, porang adalah primadona yang diibaratkan sebagai emas hitam karena hasil panen porang bisa langsung dikirim ke Jepang. Produktivitasnya juga terbilang tinggi. Setiap hektar lahan mampu menghasilkan 5 ton umbi basah sehingga petani bisa membukukan pendapatan minimal Rp 12,5 juta per hektar.
Panen porang berlangsung sekali dalam setahun. Akan tetapi, porang tidak memerlukan biaya pemeliharaan. Bahkan, penanaman cukup dilakukan sekali dan hasilnya bisa dinikmati setiap tahun.
”Tahun 2011 saja luas areal panen porang sudah mencapai 93 hektar. Itu berarti minimal uang beredar di desa ini mencapai Rp 1,162 miliar dengan catatan semua petani jual porang langsung panen. Kalau petani mengolahnya menjadi chips, uang yang beredar lebih dari Rp 4 miliar dalam sekali musim panen,” katanya.
Demi panen porang, masyarakat desa hutan rela berjaga siang malam di hutan. Pasalnya, pencuri sekarang tidak lagi menyatroni kayu, melainkan porang karena lebih laku dijual. Arif Efendi mengatakan hampir setiap hari ada laporan pencurian porang. Sedihnya, pelaku dan pemilik porang sama-sama warganya.
Kepala Bagian Operasional Reserse Kriminal Kepolisian Resor Madiun Inspektur Satu Joko Suseno mengatakan, kasus pencurian kayu di wilayah Madiun memang belum bisa ditiadakan. Namun, trennya mulai menurun. Sebagai gambaran, pada tahun 2009 jumlah kasus pencurian kayu mencapai 99 kasus. Pada tahun 2010 turun menjadi 65 kasus.
Di sisi lain, muncul kasus baru yakni pencurian porang. Karena belum diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, kasus pencurian porang ini masuk ranah pidana biasa. Ancaman hukumannya bisa di atas lima tahun penjara.
Memang masih belum semua keluarga menggarap porang sekalipun lahan yang tersedia sangat banyak. Namun, jangan khawatir, mereka tetap kecipratan rezeki dengan bekerja pada industri pengolahan porang. Kendalanya ada pada permodalan. Modal minimal untuk menanam 1 hektar porang mencapai Rp 3,5 juta. Hasil minimal tiga tahun baru bisa dinikmati.
Rata-rata kepemilikan lahan porang petani di Sumberbendo sekitar 0,25 hektar. Hanya beberapa gelintir orang yang memiliki lahan di atas 1 hektar. Dengan garapan yang kecil, hasil porang masih tersedot untuk kebutuhan hidup. Idealnya, garapan petani minimal 1 hektar supaya mereka bisa menyisihkan untuk tabungan.
Sayang, bantuan permodalan untuk usaha produktif belum menyentuh tepian hutan. Namun, hal itu bukan masalah. Sejak porang mampu memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat tidak lagi terfokus mencuri kayu.
Sebaliknya, mereka bahkan berkomitmen menjaga kelestarian hutan demi emas hitam yang bernilai dollar itu.
Nama Media : KOMPAS
Tanggal       : Jumat, 17 Juni 2011/h. 24
Penulis        : Runik Sri Astuti
TONE           : POSITIVE