Berbagai upaya mengatasi tantangan pemenuhan kebutuhan energi, pangan, dan pelestarian lingkungan, telah digenjot semua pihak termasuk berbagai program penunjangnya. Sosialisasi pembudidayaan sejumlah tanaman bernilai tambah pun dilakukan oleh pemerintah selaku pencetus awal program. Hanya, belum semua program ditunjang kebijakan pengembangan industri secara terintegrasi hulu sampai hilir. Padahal hasilnya dapat sekaligus memenuhiketahanan lingkungan hidup, ketahanan energi, serta ketahanan pangan, sekaligus pernberdayaan masyarakat.

Peluang mengatasi persoalan sebenarnya sudah ada di Jawa Barat dan Banten sejak tahun 2008, banyak terdapat pohon MPTS (multipurpose tree species) dapat mendatangkan hasil serba menguntungkan. Adalah pohon-pohon pohon kemiri sunan, nyamplung, kosambi, dan sorgum, yang jika dikelola baik dan terencana mampu menjadi pemasok menguntungkan bersifat terbarukan.

Pangsa pasar potensial pengusahaan tanaman-tanaman serbaguna tersebut, di antara muncul sebagai pasokan bahan bakar nabati (BBN) atau disebut biofuel. Apalagi pemerintah sejak tahun 2006, sempat menyosialisasikan penggunaan bahan baku nabati, dengan mengampanyekan pembudidayaan beberapa tanaman potensial sumber bahan baku. Dasar hukumnya, Inpres No.1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN, Perpres NO.5 Tahun 2006 tentang Energi Nasional, dan SK Dirjen Migas No. 3674 dan 3675 Tahun 2006 tentang Penambahan Biofue1 ke BBM 10%.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Juli 2006 mengatakan, tujuan pertama pengembangan BBN adalah keamanan pasokan energi, menciptakan lapangan kerja di pedesaan sehingga kemiskinan berkurang, dan penghematan devisa impor BBM. Tentang pengusahaan pohon kemiri sunan dan nyamplung, di Jabar, saat ini ada sekitar 2.000-an ha lahan sparadis. Baik yang ditanam atau tumbuh sendiri, berpopulasi lebih dari 100 ribu pohon dimana sebagian sudah menghasilkan pada tahun 2012 ini. Namun keberadaan pohon-pohon kemiri sunan dan nyamplung tersebut tengah menunggu konsistensi kebijakan pemerintah, mendorong industrialisasi pedesaan berbasis pangan dan energi. Melalui kebijakannya, pemerintah seharusnya turut berperan mempercepat pembangunan ketahanan dan kedaulatan sumber pangan serta energi.

Harapan besar di antaranya mengatasi ketergantungan terhadap minyak bumi, karena semakin tingginya kebutuhan pemenuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Paling tidak, mencoba meredam gejolak setiap kali pemerintah berencana menaikkan harga BBM, seperti yang terjadi baru-baru ini. Secara alami papulasi pohon kemiri sunan dan nyamplung banyak terdapat pada lahan-lahan kritis, daerah aliran sungai, maupun pekarangan. Banyak manfaat diperoleh, tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra dibandingkan dengan mengusahakan tanaman lain.

Kemiri Sunan
Komoditas pahon kemiri sunan (Aleurites trisperma) aslinya berasal dari Filipina, banyak tumbuh secara alarni di Jawa Barat dan sudah dikembangkan di Kabupaten Sumedang, Kab. Bandung, dan Kab. Garut. Tumbuh sebagai tegakan, tinggi dapat mencapai 15 meter atau lebih, hidup hingga usia di atas 75 tahun.

Kanopi yang rapat dan lebar pada pahon kemiri sunan, mampu menahan tetesan air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah, sehingga bisa mengurangi erosi dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Begitu pula akara tunggangnya, mampu mencegah tanah longsor, mempunyai daun lebat, mampu mengikat karbondioksida, dan menghasilkan oksigen dalam jumlah banyak.

Pebisnis agro asal Bandung, Hendra Natakarmana, selaku pihak yang mengenalkan berbagai manfaat kemiri sunan, mengatakan, potensinya ada pada buah bagian inti biji dan inti cangkang (kulit). Bagian-bagian ini diproses menjadi minyak kemiri sunan dan digunakan sebagai sumber energi alternatif, pengganti solar (biodiesel) melalui proses lanjutan.

Inti dari buah mampu menghasilkan minyak rendemen sebesar 56 persen. Namun untuk mendapatkannya harus diperah terlebih dahulu. Minyaknya berwarna bening, yang komposisinya terdiri dari asam palmitic 10 persen, asam stearic 9 persen, asam oleic 12 persen, asam linoleic 19 persen dan asam aelaeostearic 51 persen (khusus yang ini, ada kandungan racun pada minyak).

Disebutkan, minyak kemiri sunan hasil perahan diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Selain itu, digunakan pula produk industri, misalnya membuat pemis, cat, sabun, linoleum, minyak kain, resin, kulit sintetis, pelumas, kanvas rem, dan campuran pada pembersih/pengilap. Juga digunakan sebagai bahan pembuat pelindung kontainer makanan dan obat-obatan, melapisi/rnelindungi permukaan kawat dan logam lain seperti pada radio, radar, telepon, serta perlengkapan telegraf. Sisa ekstraksi berupa bungkil, mengandung 6 persen nitrogen, patasium (1,7 persen), fosfor (5 persen). Bungkil juga dapat diolah lebih lanjut menjadi biogas, di mana 3 kg bungkil diperoleh 1,5 m3 biogas atau setara dengan 1 liter minyak tanah.

Menurut Hendra, jika diasumsikan produktivitas/pohon pada usia di atas tujuh tahun mencapai 300 kg biji kering/tahun, setiap rumah tangga mampu mencukupi sendiri kebutuhan biogas/tahun hanya dengan menanam 15 pahon kemiri sunan. Mereka tidak perlu lagi membeli minyak tanah, sehingga penjarahan hutan untuk kayu bakar dapat ditekan.

Untuk usaha pertanian, limbah bungkil sisa biogas kemiri sunan dapat digunakan sebagai pupuk dengan perbandingan 1 ha tanaman padi dibutuhkan pupuk urea sebesar 150 kg (kandungan N 45 persen). Jika diasumsikan dalam 1 kg bungkil limbah biogas mengandung N sebanyak 6 persen, maka per ha diperlukan sekitar 7,2 ton bungkil limbah biogas.

Hendra menjelaskan, karena karakteristiknya itu, jika terdapat populasi secara banyak, pohon kemiri sunan dapat memunculkan manfaat berantai. Selain rehabilitasi lahan kritis, juga sebagai bahan bakar altematif yang harus didukung Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui diversifikasi dan konservasi energi. ”Minyak kemiri sunan selaku bahan bakar nabati sebenarnya tak lebih irit dibandingkan dengan solar. Namun tetap ada daya tarik bagi konsumen jika diproduksi secara besar, yaitu harganya lebih murah apalagi ramah lingkungan,” ujarnya,

Namun dalam pembudidayaan, ia menyarankan sebaiknya tetap dipertahankan sebagai tanaman pohon secara efek berantai populasi sporadis oleh masyarakat. Ini lebih berdasarkan memotivasi masyarakat, terutama mengisi lokasi-lokasi kawasan kritis, peneduh lingkungan, pekarangan, daerah aliran sungai dll., sebaiknya diarahkan sebagai agroforestry.

Meskipun demikian, katanya, potensi pasokan biodiesel berbahan kemiri ini tetap akan sangat besar dengan jumlah dapat mencapai sekitar 10 miliar pohon. Soalnya, pohon kemiri sunan dapat ditanam pada seluruh lahan kritis, hutan, serta pengisi lahan kurang produktif di Indonesia. Hendra menilai, sejauh ini upaya pembudidayaan maupun produksi minyak nabati biodiesel, pupuk, biogas, dll, dari pohon kemiri sunan, cenderung belum diperhatikan pemerintah.

Ada kesan, pemerintah lebih tergiring menyosialisasikan komoditas lain, dimana nilai ekonomisnya justru masih di bawah. Hendra mencontohkan, pemah ditolak oleh Pusat Penelitian Perkebunan Kementerian Pertanian. Dengan alasan lembaga tak ada dana, ia terpaksa mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan uji laboratorium.

Nyamplung
Sementara itu biji pohon nyamplung, menurut Kasi Tanaman Biro Rehabilitasi Usaha Pengembangan Hutan Rakyat (RUPHR) Perum Perhutani unit III, Asep Surahman, sangat banyak di Pulau Jawa. Apalagi di Jawa Tengah sudah dilakukan uji coba penggunaan untuk bahan bakar mobil, bahkan di Kabupaten Purworejo sudah siap memproduksi 6.000-an liter.

Sumber bahan bakunya memang sudah disiapkan di lahan Perum Perhutani, yang tinggal ditingkatkan populasinya jika pengembangan produksi bahan bakar biodiesel nabati ditunjang kebijakan pemerintah. Apalagi, penggunaan biodiesel dari minyak nyamplung, sudah umum digunakan masyarakat, baik di Jateng bahkan kini pada sebagian wilayah di Jabar.

Khusus biodiesel nabati berbahan baku minyak kemiri sunan maupun nyamplung, menurut Hendra dan Asep, sebenarnya merniliki pasar sangat potensial untuk berbagai sektor. Secara adaptasi mesin, relatif tak masalah, karena lebih diperlukan kontinuitas pasokan industri dengan memerlukan kelancaran pasokan dari pembudidayaan.

Mereka mencontohkan dari sektor perikanan laut, yang belakangan ini banyak kekhawatiran banyak kapal nelayan terpaksa tak melaut. Rencana pemerintah mengurangi pasokan solar bersubsidi untuk bahan bakar kapal nelayan, dapat diganti bahan bakar nabati dari minyak kemiri sunan atau nyamplung.

”Memang tak mudah menjadikan kemiri sunan dan nyamplung sebagai salah satu tanaman rehabilitasi lahan kritis sekaligus sumber penghasil minyak bahan bakar terbarukan. Namun untuk menjamin ketersediaan bibit pohon, bahan baku, produksi minyak secara kontinu, dibutuhkan pemilihan sistem yang tepat dan terarah dari pemerintah,” kata Hendra. (Kodar Solihat/”PR”) ***

Pikiran Rakyat :: 2 April 2012, Hal. 25