DETIK.COM (01/04/2014) | Cerita mengenai asal muasal pohon jati denok yang tumbuh di petak 62, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Temetes, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Temanjang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung masih simpang siur. Tetapi muncul anggapan jika pohon jati tersebut dulunya ditanam oleh Belanda.

Klaim ini pun dibantah langsung oleh pemerhati sejarah asal Blora, Totok Supriyanto. Pria yang juga seorang penulis sejarah menyebut secara terperinci bahwa jati denok yang berada di Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora bukan hasil penanaman Belanda. Bahkan jati itu sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia.

Totok menyampaikan, dalam penelitian tahun 1930 yang dilakukan oleh Herman Ernst Wolff von Wulfing (1891-1945) dengan judul De Wildhoutbosschen op Java (hutan rimba di Jawa) di dalamnya juga membahas tentang jati Blora. Herman diketahui sebelum menjadi Kepala Kebun Raya Bogor pada tahun 1932-1943, dia melakukan penelitian tentang hutan rimba pada tahun 1930 Masehi.

“Herman Ernst Wolff von Wulfing sebelum jadi Kepala Kebun Raya Bogor dia melakukan riset penelitian pertumbuhan pohon jati, akhirnya sampai ke Blora, setelah melihat hutan belantara,” jelas Totok saat ditemui detikJateng di rumahnya di Blora, Jumat (29/3/2024).

Penelitian itu ditemukan jati-jati yang tersebar di Blora. Salah satunya pohon-pohon jati di wilayah di mana jati denok tumbuh. Herman melihat jati yang besar tinggi 50 meter, berdiameter 3,5 meter dengan lingkar keliling lebih kurang 11 meter.

Jati tersebut berada di tengah hutan tepatnya di antara Dukuh Banyuurip dan Dukuh Temetes di Desa Banjarejo, Blora. Dimungkinkan jati denok yang saat ini masih ada juga termasuk di wilayah sekitar hutan tersebut. Jati yang diteliti oleh Hermas berada di petak D yang kemudian hari dikenal dengan istilah jati Denok sekarang.

“Saat itu diperkirakan usianya lebih dati 200 tahun. Jati yang diteliti itu sudah tidak ada. Jati denok mungkin saja seumuran dengan jati tersebut,” jelas Totok.

Penelitian ini membuat pohon jati menjadi populer dan terkenal di kalangan orang-orang Indonesia dan Eropa karena kualitasnya yang baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Herman bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan pohon jati. Jati merupakan pohon yang dominan di hutan belantara Blora.

“Jati itu bukan tanaman orang Belanda apalagi Perhutani. Itu klaim mereka. Jati itu hidup di hutan Blora. Karena sifatnya yang dominan dibanding dengan jenis yang lain, maka hutan Blora seakan-akan hutan homogen yaitu hutan jati,” ujarnya.

Alasan kenapa jati dikatakan dominan karena mampu tumbuh ratusan tahun dan menjadi pohon raksasa. Kemudian selain pohonnya yang kokoh, kulit pohon jati terkenal dengan kulit yang anti api.

“Pohon (jati) ini tidak mati ketika terjadi kebakaran hutan. Jati matinya-diteres-atau diambil kambiumnya. Tebal, tahan api, dan panas, juga anti rayap. Akhirnya dia bisa meraksasa, usianya bisa ratusan tahun,” jelasnya.

Sementara jati denok sendiri diperkirakan sezaman dengan jati yang diteliti oleh Herman Ernst Wolff von Wulfing tersebut. Namun jati yang diteliti oleh Hermas sudah tumbang. Totok mengatakan jati merupakan pohon endemik Blora dan dianggap sebagai pohon kehidupan karena mampu hidup dengan jangka waktu yang sangat lama.

“Jati denok diperkirakan sezaman dengan pohon yang diteliti oleh Hermas tadi. Jati itu pohon endemik Blora dan disakralkan bagi masyarakat Blora. Pohon jati sering dikatakan pohon kalpataru (pohon kehidupan) karena sifatnya yang dominan dan sanggup hidup ratusan tahun,” jelasnya.

Belanda Monopoli Jati Blora
Awalnya wilayah hutan atau alas Blora dikenal dengan hutan rimba bukan hutan produksi. Disebutkan Totok, pada abad 19 ketika Belanda akan membangun sebuah proyek pembangunan pelabuhan terkuat di Surabaya termasuk armada membutuhkan kayu jati terbaik di Jawa. Pohon itu ada di Blora dan Bojonegoro.

“Belanda ingin membangun kekuatan pelabuhan dan armadanya, Belanda kemudian memonopoli produksi hutan jati, jati diambil alih,” jelasnya.

Walhasil dari monopoli itu yang memicu perang besar antara orang Blora dan Bojonegoro melawan Belanda di tahun 1825. Perang selesai tahun 1830 setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro.

“Tetapi monopoli belum berakhir. Malah menjadi-jadi. Dan muncul blandong atau orang yang dipekerjakan Belanda untuk mengeksploitasi hutan jati. Sehingga muncul anggapan hutan jati itu tanduran Belanda,” terang Totok.

Dia menyayangkan adanya anggapan bahwa pohon jati merupakan tanaman orang-orang Belanda. Padahal tidak. Belanda ingin menguasai kayu jati guna kekuatan armada perang. Sayangnya proyek belum kelar, Belanda sudah diserang oleh Inggris.

“Jati tanaman Belanda ya hanya klaim Belanda, monopoli Belanda. Klaim itu terdengar sampai sekarang. Bahkan itu diamini pekerja Perhutani sampai sekarang. Bahwa jati itu ya tanaman Belanda,” ucapnya.

Sumber : detik.com