JAWAPOS.COM (16/04/2024) | Perjalanan menuju Ekowisata Mangrove, Desa Lembung, Kecamatan Galis, butuh sekitar 27 menit dari arah Kota Pamekasan. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari Monumen Arek Lancor. Pengunjung akan melewati tambak garam sebelum tiba di lokasi wisata mangrove.

Sayang, akses jalannya hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Sebab, akses jalan untuk kendaraan roda empat belum tersedia. Pengunjung yang membawa mobil bisa jalan kaki karena jaraknya tidak jauh.

Tiket masuk sangat ekonomis. Tiap pengunjung hanya ditarik Rp 2 ribu. Fasilitas yang bisa dinikmati cukup variatif. Pengunjung bisa menyusuri rindangnya pohon mangrove. Pengelola sudah menyiapkan jembatan jalan setapak sepanjang 200 meter dan gazebo di tengah-tengah hutan bakau.

Tak hanya itu, jika pengunjung datang pagi bisa melihat nuansa warga yang sedang mencari kerang lorju. Biasanya, warga menanam pohon mangrove di sekitar area wisata mangrove.

Saat ini ada sekitar puluhan ribu tanaman meliputi 10 jenis mangrove yang tumbuh di pesisir Pantai Lembung. Pengunjung bisa mempelajari jenis-jenis mangrove dan cara melestarikan lingkungan dengan dipandu oleh pengelola wisata.

Tanaman mangrove di pesisir pantai lembung semakin terawat setelah dibangun Ekowisata Mangrove. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya melestarikan lingkungan mangrove. Destinasi wisata edukasi ini dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sabuk Hijau.

Ketua Pokdarwis Sabuk Hijau Slaman terus mendorong kepedulian masyarakat terhadap pelestarian lingkungan mangrove. ”Ini juga sebagai edukasi dan investasi anak cucu kita kelak. Jadi, ayo bersama-sama menjaga lingkungan sekitar kita,” ajaknya.

Slaman menyampaikan, inisiatif pendirian Ekowisata Mangrove muncul pada 2019. Dia mengajukan keinginannya itu ke pihak Perhutani selaku pemangku wilayah hutan bakau. Kemudian, pihak Perhutani berunding dengan Disporapar Pamekasan lalu dilakukan survei.

Setelah dianggap layak, semua stakeholder bermusyawarah. Termasuk melibatkan Pemerintah Desa Lembung serta polsek dan Danramil Galis. Semua pihak sepakat membangun wisata mangrove.

Semua stakeholder bergerak untuk pembangunan Ekowisata Mangrove. Disporapar Pamekasan menyiapkan anggaran, Perhutani memproses izin pemanfaatan lahan hutan bakau, dan Pokdarwis Sabuk Hijau bertugas mengelola wisata tersebut.

”Perjalanan untuk menjadikan wisata dengan konsep edukasi ini tidaklah mudah,” ujar Slaman.

Slaman mengungkapkan, menjadikan hutan bakau sebagai destinasi wisata adalah salah satu cara pelestarian tanaman mangrove. Cara ini terbilang berhasil. Buktinya, organisasi masyarakat, mahasiswa bahkan instansi pemerintahan terdorong melakukan restorasi ekosistem mangrove.

Di antaranya, melakukan kegiatan tanam bakau di Ekowisata Mangrove tersebut. Tanaman tersebut dirawat dan dijadikan bahan kajian saat ada pengunjung. ”Jadi, refreshing dapat, edukasinya juga dapat. Setiap jenis tanaman mangrove kita beri nama, termasuk cara tanam dan juga manfaatnya,” ungkap pria kelahiran 1970 ini.

Semula, tanaman mangrove di pesisir Desa Lembung tidak sebanyak sekarang. Pada 1986, luas lahan mangrove kisaran 19 hektare. Tanaman mangrove hanya tumbuh di beberapa titik saja.

Slaman menceritakan, saat dirinya duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), air laut pernah masuk ke permukiman warga Desa Lembung. Pemicunya, tambak milik warga jebol dihantam ombak.

”Tambak milik orang-orang jebol semua dan air baru surut empat hari setelah kejadian,” kenangnya.

Sejak kejadian itu, Slaman mencari cara agar kejadian ini tidak terulang lagi. Sejak itu, Slaman mempelajari tentang tanaman mangrove. Pada 1986, Slaman menanam sejumlah tanaman mangrove. Kegiatan ini dilakukan selepas pulang sekolah.

Pengetahuan Slaman tentang cara menanam mangrove minim. Dia tidak tahu jenis mangrove yang cocok ditanam di pesisir laut Lembung. Akibatnya, tanaman mangrove yang dia tanam banyak mati. Meski begitu, dia tidak putus asa dan terus belajar.

Perjalanan Slaman untuk melestarikan mangrove berliku. Selain melestarikan mangrove, dia harus menabung kesabaran dalam menghadapi masyarakat sekitar. Sebab, mayoritas masyarakat tidak mengerti tentang pentingnya tanaman mangrove.

Usaha Slaman sering diganggu oleh masyarakat. Misalnya, sepedanya dicemplungkan ke sungai, ban sepedanya digembosi, peralatan linggis dibuang, bangunan pos juga dibakar. ”Tapi, saya tidak pernah membalas. Karena memang tujuan awal saya hanya untuk pelestarian lingkungan, tetap saya tanami mangrove itu,” ungkapnya. (ail/bil)

Sumber : jawapos.com