Kontan, Jakarta – Ketahanan pangan masih menjadi isu utama di negeri ini, lantaran laju pertumbuhan penduduk tak sebanding dengan pertumbuhan produksi pangan. Solusinya?
BEBERAPA waktu lalu, Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan kekhawatirannya tentang laju penyusutan lahan terutama sawah yang tidak sebanding dengan laju pembukaan sawah baru. Menurutnya, sekitar 100.000 hektare (ha) lahan produktif beralih fungsi setiap tahun. Sementara, tiap tahun pemerintah hanya mampu mencetak sawah 40.000 ha. Di lain sisi, penduduk Indonesia diperkirakan melonjak menjadi 305,6 juta jiwa dalam 20 tahun mendatang, dari tahun 2013 lalu yang masih 255,5 juta jiwa.
Alhasil, peningkatan kebutuhan pangan sudah tak terelakkan lagi. Untuk menjawab tantangan kebutuhan pangan, mau tak mau harus ada dukungan dari ketersediaan lahan produktif. Salah satu alternatif untuk mengatasi kebutuhan lahan dan meningkatkan produksi tanaman pangan adalah dengan mengintegrasikan lahan. Maksudnya, memanfaatkan lahan untuk beberapa peruntukan sekaligus, termasuk untuk tanaman pangan. Solusi ini sedang dijalankan oleh pemerintah.
Kementerian Pertanian, misalnya, telah menganjurkan produsen minyak sawit untuk mengintegrasikan lahan perkebunannya dengan peternakan, yakni mengembangbiakkan sapi di perkebunan kelapa sawit. Meskipun begitu, belum diketahui sejauh mana hasilnya saat ini. Tak hanya itu, sekitar tahun 2011 Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) turut mendukung lewat Gerakan Produksi Pangan dengan sistem Korporasi (GPPK).
Kala itu, Kementerian BUMN akan menyediakan dana Rp 4,1 triliun hingga tahun 2014 untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai melalui penyediaan paket teknologi, modal, sarana produksi yang sesuai dengan kalender tanam, serta jaminan harga dan pembelian hasil. Cara ini pula yang dijalankan oleh Kementerian Kehutanan untuk mendorong agroforestry, yakni integrasi pangan pada lahan kehutanan.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pernah bilang, ia bakal menjamin pemanfaatan lahan hutan tanam industri (HTI) untuk menanam tanaman pangan. Zulkifli menganjurkan para pemilik konsesi hutan HTI maupun HA (Hutan Alam) terutama BUMN, agar mau menggunakan sekitar 10%-20% lahannya untuk menanam tanaman pangan. Bahkan, ia bilang, kebijakan moratorium hutan tidak berlaku bagi tanaman pangan. Artinya, kata Zulkifli menebang pohon untuk menanam tanaman pangan tetap diperbolehkan meski masih dalam waktu moratorium. Sebetulnya, lahan HTI cukup potensial.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemhut, Hadi Daryanto menjelaskan, pada tahun 2012 luas wilayah konsesi HTI mencapai sekitar 9,77 juta ha. Jumlah lahan konsesi ini kembali meningkat menjadi sekitar 13,12 juta ha pada tahun 2013. Namun sayangnya, saat ini kinerja industri kehutanan tengah melempem.
Sebagai gambaran, di tahun 2012, dari 235 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)HTI, yang aktif alias melakukan kegiatan penanaman dan berproduksi hanya sekitar 106 unit saja. Salah satu perusahaan dengan potensi lahan yang besar, adalah Perum Perhutani yang memiliki potensi lahan seluas 2,4 juta ha di Pulau Jawa. Lahan ini akan dimanfaatkan untuk menanam berbagai tanaman pangan seperti jagung, kedelai, padi maupun tebu.
Sebenarnya, saat ini sudah ada perusahaan BUMN yang berupaya menggalakkan penanaman agroforestry dengan menggandeng masyarakat. Beberapa BUMN di sektor kehutanan yang telah menjajal pola kemitraan dengan masyarakat untuk menanam tanaman pangan antara lain PT Inhutani II dan PT Inhutani V. Inhutani II, misalnya, enam tahun terakhir sudah rutin melaksanakan integrasi tanaman pangan dengan sistem tumpang sari.
Jurnalis : Maria Elga Ayudi
Kontan | 27 Februari 2014 | Hal. 17