Tegakan pohon pinus terus tergerus di Bukit Hambalang. Tanaman musiman serta pertambangan pasir dan batu kian menggerogoti kawasan hutan produksi terbatas milik Perum Perhutani. Sela tutupan hutan tampak begitu kentara. Kondisi daerah aliran sungai yang membelah sekujur bukit juga makin memprihatinkan.
Truk pengangkut pasir dan batu begitu leluasa keluar masuk merusak fungsi ekologi hutan Hambalang. Perhutani memang kesulitan mereduksi konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Areal tanam pinus perlahan beringsut berubah fungsi menjadi sawah dan beberapa tanaman musiman. Hingga kini, luas penanaman pinus hanya sekitar 3.300 dari 9.243 hektare kawasan HTP Perhutani di Bukit Hambalang.
Padahal, 40% sumber pendapatan Perhutani diperoleh dari penjualan getah pinus. Total produksi getah pinus Perhutani di Hambalang hanya mencapai 250 ton setiap tahun. Sebagian besar pohon pinus telah memasuki usia sadap. “Situasi sedang tidak menentu. Di samping konflik lahan yang mengganggu penanaman, harga getah pinus juga sedang jatuh akibat resesi global,” ungkap Bambang Sukmananto, Direktur Utama Perum Perhutani kepada Bisnis Rabu (18/7).
Bambang mengakui situasi pasar getah pinus belakangan kurang menggembirakan. Perhutani masih menyimpan stok produksi sebesar 24.000 ton belum terserap pasar. Perusahaan tengah mengupayakan kontrak transaksi dengan pembeli dari luar negeri untuk menyerap 10.000 ton stok getak pinus.
Bambang pantas khawatir. Pasalnya, harga getah pinus di pasar internasional belum menunjukkan peningkatan. Saat ini, getah pinus dibanderol US$1,350 per ton, jauh merosot dari pencapaian harga terbaik tahun lalu yang sempat menembus US$2.600 per ton.
12 Pabrik
Hingga kini, Perhutani memiliki 12 pabrik pengolahan getah pinus terdiri dari delapan pabrik milik perusahaan, sementara sisanya pabrik pengolahan hasil kerja sama dengan pihak swasta. Setiap pabrik berkapasitas rata-rata produksi hingga 8.000-10.000 ton.
Getah pinus mampu menghasilkan terpentin yanq menjadi bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamper dan farmasi. Hasil pengolahan getah pinus dapat menghasilkan gondorukem yang biasa digunakan untuk bahan baku industri kertas, keramik, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak, politur, farmasi dan komestik.
Selain itu, getah pinus mampu menghasilkan terpentin yang menjadi bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamper dan farmasi. Bambang berharap situasi pasar segera pulih dan mengatrol harga beli getah pinus. Rendahnya permintaan dan harga berpotensi meningkatkan jumlah stok produksi yang tertahan.
“Produksi getah pinus bisa mencapai 6.000-7.000 ton per bulan. Stok yang tidak terserap harus diantisipasi melalui kontrakkontrak dengan pembeli baru,” jelasnya. Kepala Administratur Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Bogor Asep Rusnandar mengakui perambahan liar membuat areal kerja Perhutani menjadi terbatas. Selain itu, dia menilai pertumbuhan pembangunan Sentul juga berkontribusi menurunkan tegakan hutan.
“Sekitar 300 hektare HTP Perhutani di Hambalang sudah diserobot oleh warga. Sengketa perambahan lahan ini sangat mengkhawatirkan karena potensinya akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan,” katanya. Padahal, potensi ekonomi hasil hutan bukan kayu (HHBK) sangat menggiurkan untuk dikembangkan seperti pinus, gerah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet.
Tegakan hutan di Kabupaten, Bogor perlu dipelihara karena berpotensi memproduksi kayu sekitar 900.000 meter kubik di lahan seluas 214.892 hektare. “Masyarakat harus dirangkul dengan melibatkan kelompok-kelompok tani. Hutan-hutan bekas perambahan harus segera direhabilitasi dengan dukungan program kebun bibit rakyat,” cetusnya. (redaksi@bisnis,co.id)
BISNIS INDONESIA :: Kamis, 19 Juli 2012 Hal. i2