Turis masuk hutan jati, siapa, dimana. Lizbeth de Koening adalah turis asal Belanda yang minta pemandunya berhenti di hutan jati Saradan, tepat 40 kilomater arah timur Madiun menuju Nganjuk Jawa Timur. Mobil wisata tujuan Malang itu berhenti. Bersama tiga koleganya ia berdiri di pinggir jalan dan berdecak kagum pada barisan pohon jati kokoh menjulang. Lebih heboh lagi, mereka melongo melihat pahatan berornamen garuda, naga, harimau, dan hutan pada tunggak-tunggak jati tak beraturan yang dipajang dan didagangkan pengrajin disitu.  Mata para turis itu berbinar antusias dan mulutnya tak absen dari kata “amazing….fantastic”.   Siang itu Soejarwo Efendi ditemani istrinya Murtini, menerima turis itu dengan senang. Tak henti ia menjelaskan proses pembuatan pahatan tunggak jati, dan Lizbeth antusias mendengar terjemahan pemandunya.
Soejarwo Efendi, 52 tahun, akrab dipanggil Jarwo adalah satu pengrajin tunggak jati terlama di Saradan. Sosoknya yang keras dan ulet mengantarnya pada kehidupan mandiri, mandiri ukuran perdesaan. Krisis moneter memaksa Jarwo meninggalkan Ngawi, desa kelahirannya. Anak kelima dari tujuh saudara ini menekuni usahanya sejak 1999.  Berbekal alat pahat seharga Rp 175.000,- yang dia beli dari uang jatah makan keluarganya, Jarwo harus rela melihat isteri dan anaknya puasa sebulan.
Pahatannya pertama berornamen garuda dan iguana diselesaikan dalam waktu delapan hari, tak sengaja terjual seharga satu juta rupiah. Sejak itu ia bertekad maju. Jarwo mulai mencari tunggak kayu jati di hutan Saradan dan Madiun. Gayung bersambut, pada tahun 2001, Perhutani Saradan memberinya bantuan empat juta rupiah melalui dana USKOP (Usaha Kecil Koperasi) dana bergulir program BUMN waktu itu.
Usaha Jarwo tentu saja tidak mulus. Saingan banyak, harga bersaing, bahan baku harus didapatkan sesuai aturan. Menurut Jarwo, pengambilan tunggak pohon jati dari hutan secara berlebihan dapat menyebabkan erosi tanah. Itulah sebabnya Perhutani rutin memberikan arahan konservasi kepada para pengrajin. Untuk lokasi hutan dengan kemiringan tertentu, tunggak kayu jati tidak boleh diambil.
Jarwo mendapat suntikan dana PKBL senilai duapuluh juta rupiah dari Perhutani Saradan tahun 2008.  Dana tersebut lunas dalam waktu satu tahun. Dengan tujuh karyawan ia memproduksi rata-rata lima sampai delapan pahatan sebulan tergantung besar kecil tunggak kayu jati dan kerumitan pahatan.  Harga termurah berupa tempat buah-buahan dari tunggak jati senilai delapan puluh ribu rupiah.  Sedangkan pahatan tunggak jati besar harganya antara Rp. 2 juta sampai Rp. 30 juta rupiah.
Jarwo telah empatbelas tahun menggeluti usahanya, omset Rp. 30 juta hingga Rp. 50 juta sebulan.  Dengan mata berbinar ia mengaku hasil bersih usahanya setahun mencapai Rp. 80 juta sampai Rp. 150 juta.  Sebuah nilai yang membuatnya bangga.  Pembeli tunggak jati umumnya adalah turis, atau pedagang perantara yang membawa produknya ke Bali atau diekspor ke Jepang, Belanda, dan Italy.
Dari usahanya itu, dua anak bisa sekolah. Bahkan anak pertamanya mulai membuka usaha yang sama dengan bantuan modal perbankan senilai Rp. 10 juta rupiah.  Bagi Jarwo, kemudahan bantuan PKBL tetap yang terbaik bagi orang desa seperti dia. Ia sangat rasakan manfaatnya. Selain bunga rendah, jangka pengembalian cicilan berselang mulai bulan ketiga. Jadwal pengembalian tidak kaku.
Jarwo mendapat angin segar dari Setiawan Administratur Perhutani Saradan untuk mengembangkan usahanya.  Untuk itu Jarwo ingin kembali mengajukan pinjaman PKBL dengan nilai lebih besar. Menurutnya, Rp 50 juta rupiah adalah modal minimal yang membuat usahanya bergerak leluasa mencukupi pesanan pembeli. Karena kurang dari itu akan alot mengembangkan stok barang.  Seperti alotnya negosiasi antara Jarwo dan Lizbeth yang tak henti tawar menawar harga siang hari itu di tengah kokohnya hutan jati  Perhutani dusun Petung, desa Pajaran, Saradan.
Bagaimanapun juga, keberhasilan usaha Jarwo sangat tergantung pada selera dan citarasa pembelinya. Ketika tonggak jati dipahat dan hati pembeli terpikat maka barulah sang rupiah bisa di dapat.
Oleh: Soesi Sastro