SOLOPOS.COM (30/05/2021) | Air terjun ini memiliki hembusan yang cukup kuat dan dapat menggoyahkan tubuh hingga terdorong ke belakang. Hembusan angin yang juga mengandung percikan air itu juga dapat membuat baju basah dari jarak kejauhan.

Curug atau air terjun Cipendok, merupakan satu dari ratusan curug yang berada di sabuk lereng Gunung Slamet, gunung terbesar di Pulau Jawa yang masih alami dengan hamparan hutan dan 209 sungai yang mengalir jernih.

Di sungai-sungai itulah akhirnya menghasilkan curug-curug. Sebagian ada yang bernama namun sebagian lagi masih tidak bernama. Curug di Dusun II Lebaksiu, Karanganyar, Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas ini memiliki ketinggian sekitar 93 meter dengan air yang sangat deras sampai terlihat seperti buih-buih salju.

Curug Cipendok ini sangat cocok dijadikan latar saat berswafoto karena butiran buih salju ini akan terlihat dari gambar yang diambil lewat kamera smartphone atau kamera professional. Butiran buih ini lebih terlihat seperti butiran bunga kapas yang terjatuh dari pohonnya saat berada di foto.

Selain pesona keindahannya yang memukau, rupanya ada cerita legenda yang menarik di balik Curug Cipendok, melansir dari Liputan6.com, Minggu (30/5/2021), masyarakat setempat meyakini ada peri penunggu bernama Dewi Intan.

Itulah alasan mengapa warga yang berada di sekitar curug selalu mengadakan Gerebeg Suran setiap tahunnya untuk menghormati Dewi Intan. Berdasarkan penjelasan dari budayawan lokal, Wedono Ajibarang, sang Adipati Banyumas saat itu yang bernama Raden Ranusentika, menikahi Peri Dewi Intan, sang penunggu curug.

Sang dewi memiliki nama asli Sudem. Di samping curug, ada sebuah bukit yang diberi nama Bukit Sudem yang dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa di sanalah tempat sang peri tinggal. Namun berdasarkan sejarah, Curug Cipendok tidak lepas dari sejarah perang Diponegoro.
Karena Diponegoro kalah dalam peperangan melawan kolonial Belanda, Banyumas jatuh di tangan pemerintahan Belanda dan mengutus pemimpin Banyumas saat itu untuk membuka lereng Gunung Slamet yang masih berupa hutan belantara untuk dijadikan area perkebunan.

Saat itu, Adipati Banyumas Raden Ranusentika, berupaya membuka hutan di Gunung Slamet namun gagal. Delapan bulan lamanya, pekerjaan yang dia lakukan untuk membuka hutan berujung sia-sia karena pohon yang sudah ditebang, secara misterius bisa berdiri kembali saat keesokan harinya.

Sumber :

Tanggal :